MENGGAGAS
PELAYANAN PUBLIK YANG PRO-POOR
Oleh : Munawar Noor **)
(sebagai bahan diskusi pada Simposium Ilmuwan
Administrasi Negara Untuk Indonesia Tahun 2013)
ABSTRAK
Wujud dan bentuk pelayanan publik di
Indonesia dalam banyak hal masih jalan di tempat walaupun reward and punishment-nyapun telah dibuat, bahkan berbagai
aturan selalu diperbaharui oleh pejabat yang baru termasuk kementerian PAN
telah berubah menjadi Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi.
Barangkali terjadinya semua itu
karena sikap mental (Mind Set) yang
telah terbentuk ratusan tahun sejak nenek moyang kita dan jaman penjajahan,
sementara itu tuntutan reformasi dalam segala bidang kehidupan,mustinya harus
terjadi perubahan paradigma Pegawai
Negeri yang tidak lagi sebagai pihak yang selalu dilayani tetapi melayani, tetapi
nampaknya paradigma lama sudah terlanjur mendarah daging maka sangatlah sulit
untuk berubah.
Oleh karena itu diperlukan langkah alternatif
yang melibatkan seluruh komponen pemerintah untuk mengurai komponen pelayanan
publik yang pro-poor.
Kata Kunci : pelayanan publik,
reformasi, paradigma, pro-poor
PENDAHULUAN
Gerakan reformasi 1998 telah menghasilkan berbagai macam tuntutan
perubahan di segala sektor kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama tuntutan yang
berkisar pada pemenuhan hak-hak warga negara serta pelibatan masyarakat
dalam pengelolaan negara. Tuntutan ini kemudian diletakkan dalam kerangka
pencapaian tujuan bernegara, yaitu untuk mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan
bangsa yang pemenuhannya memerlukan mobilisasi sumber daya yang dimiliki oleh
negara.
Akumulasi sumber daya yang dikerahkan untuk membiayai
segala aktivitas dalam rangka pemenuhan tujuan bernegara kemudian dituangkan
dalam bentuk anggaran negara. (APBN) sebagai instrumen
_________________________________
**)
Dosen FISIP UNTAG Semarang
pemerintah
untuk menyelenggarakan berbagai kebijakan serta dapat menjadi cermin untuk
melihat hubungan antara masyarakat dan negara.
APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan
setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan
bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang mempunyai
fungsi : Pertama, fungsi otorisasi
karena menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja tahun yang bersangkutan.
Kedua, mempunyai fungsi perencanaan
karena menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun
yang bersangkutan. Ketiga, fungsi
pengawasan untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah
sesuai dengan ketentuan. Keempat,
fungsi alokasi untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran dan pemborosan
sumber daya, serta meningkatkan efisiensi. Kelima,
fungsi distribusi dimana kebijakan anggaran harus memperhatikan rasa keadilan
dan kepatutan. Keenam, berfungsi sebagai
alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
Selain fungsi-fungsi tersebut diatas, anggaran juga
berfungsi sebagai alat politik (political
tool) yang dalam penyusunannya membutuhkan political skill untuk bernegosiasi dan berkompromi terhadap
banyaknya kepentingan yang bermain. Penyusunan anggaran dipandang sebagai suatu
proses perebutan sumber daya yang jumlahnya terbatas dengan melibatkan banyak
pihak yang sarat akan beragam kepentingan, sehingga proses budgeting diletakkan
dalam kerangka yang sifatnya politis ketimbang proses teknokratis semata.
Indonesia masih
menghadapi persoalan kemiskinan yang serius, tetapi Ironisnya, masih banyak kebijakan publik di
Indonesia yang pro-rich, ketimbang pro-poor yang sepertinya negara
tidak pernah dirasakan kehadirannya oleh mereka yang lemah atau dilemahkan,
yang miskin atau yang dimiskinkan. Padahal, kebijakan publik seharusnya lebih
memihak orang miskin ketimbang orang kaya, selain jumlah penduduk miskin lebih
besar daripada penduduk kaya, orang kaya memiliki sumber daya untuk menolong
dirinya sendiri, dalam artian tanpa
ditolong negara, orang kaya mampu menolong dirinya sendiri dan bahkan menolong
orang lain.
PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA
Mencermati
pelayanan publik di Indonesia bagaikan mengurai benang kusut dalam artian
berbagai peraturan berikut reward and
punishment-nyapun telah dibuat, tetapi nampaknya masih jalan ditempat, bahkan
berbagai aturan selalu diperbaharui oleh pejabat yang baru termasuk kementerian
PAN telah berubah menjadi Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi.
Barangkali
terjadinya semua itu karena sikap mental (Mind
Set) yang telah terbentuk ratusan tahun sejak nenek moyang kita dan jaman
penjajahan. Bahwa Raja dan pejabat kerajaan adalah orang-orang yang harus
selalu dihormati dan dilayani rakyatnya, bukan melayani. Pada jaman
penjajahan, Belanda dan para pegawainya adalah orang yang asal perintah dan
hidupnya bermewah-mewah diatas penderitaan rakyat. Oleh karena itu ketika
kemerdekaan tiba, banyak orang tua yang bermimpi dan mendorong anaknya sekolah
agar kelak menjadi pegawai yang hidupnya enak, gajian tiap bulan, dihormati dan
bisa memerintah orang-orang serta terpandang dalam masyarakat.
Tuntutan
reformasi dalam segala bidang kehidupan,mustinya harus terjadi perubahan paradigma Pegawai Negeri yang tidak lagi
sebagai pihak yang selalu dilayani tetapi melayani, tetapi nampaknya paradigma
lama sudah terlanjur mendarah daging maka sangatlah sulit untuk berubah. Sementara
itu Pelayanan Publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima
pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun
Asas Pelayanan Publik antara lain menyangkut Transparansi; Akuntabilitas;
Kondisional; Partisipatif; Kesamaan Hak; Keseimbangan Hak dan Kewajiban
(Keputusan MenPAN No. 63/KEP/M.PAN/7/2003)
tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Dari pengertian pelayanan dan pelayanan publik yang
diuraikan tersebut, dalam kontek pemerintah daerah, pelayanan publik dapat
dimengerti sebagai pemberian layanan atau melayani keperluan orang atau
masyarakat dan/atau organisasi lain yang mempunyai kepentingan pada organisasi
itu, sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditentukan dan ditujukan
untuk memberikan kepuasan kepada penerima pelayanan. Dengan demikian, terdapat
3 unsur penting dalam pelayanan publik, yaitu unsur pertama, adalah organisasi pemberi (penyelenggara) pelayanan yaitu
Pemerintah Daerah; unsur kedua adalah
penerima layanan (pelanggan) yaitu orang atau masyarakat atau organisasi yang
berkepentingan, dan unsur ketiga
adalah kepuasan yang diberikan dan/atau diterima oleh penerima layanan
(pelanggan).
Dalam kontek good governance, untuk mewujudkan
pelayanan publik yang baik, selain didasarkan pada kriteria atau unsur-unsur
pemerintahan yang baik, diperlukan kebijakan pemerintahan dalam bentuk berbagai
peraturan perundang-undangan dan kebijakan operasionalnya. sehingga
landasan hukum yang terkait dengan pelayanan publik menjadi penting untuk
dikemukakan.
Pengaturan pelayanan publik di Indonesia dituangkan dalam
: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,
pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan Sektoral,
diantaranya dengan, : Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah dan
perubahannya, Keputusan MENPAN No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang
Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Keputusan MENPAN Nomor
KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan
Masyarakat Unit Instansi Pelayanan Pemerintah, Peraturan MENPAN Nomor
PER/20/M.PAN/04/2006 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Publik, Keputusan MENPAN Nomor : KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang
petunjuk teknis transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan
publik, Surat Edaran MENPAN Nomor SE/15/M.PAN/9/2005 tentang
peningkatan intensitas pengawasan dalam upaya perbaikan pelayanan publik, Surat Edaran MENPAN Nomor : SE/ 10 /M.PAN/07/2005 tentang
prioritas peningkatan kualitas pelayanan publik.
BELUM
BERPIHAK PADA RAKYAT MISKIN
Bagaimana hubungan antara tata
pemerintahan dengan kemiskinan? Jawaban pertanyaan ini adalah apabila kehidupan
dan kesejahteraan masyarakat miskin dapat diperbaiki dan akses mereka terhadap
ruang, sumber daya ekonomi, infrastruktur, pelayanan publik dasar, serta
informasi ditingkatkan oleh pemerintah.
Tetapi apakah elemen-elemen yang penting ini bisa dijangkau oleh
kelompok miskin dan kaum marjinal atau tidak, tentunya sangat tergantung pada
bagaimana pemerintah berfungsi dan bagaimana proses politik dan pengambilan
keputusan publik berlangsung. Sayangnya, masyarakat miskin pada umumnya
menghadapi kesulitan untuk bisa menyuarakan kepentingannya, apalagi
mempengaruhi keputusan yang terkait dengan penggunaan sumber daya yang langka
seperti ruang dan anggaran daerah. Situasi ini diperburuk dengan kurang
responsifnya pemerintah daerah maupun para politisi dalam menanggapi
masalah-masalah yang dihadapi penduduknya yang miskin.
Negara adalah institusi paling absah
yang memiliki kewenangan menarik pajak maupun restribusi dari rakyat, sehingga
paling berkewajiban menyediakan pelayanan sosial dasar bagi warganya. Sebagai
lembaga yang memiliki legitimasi publik yang dipilih dan dibiayai oleh rakyat,
negara memiliki kewajiban dalam memenuhi, melindungi, dan menghargai hak-hak
dasar, ekonomi, dan budaya warganya. Mandat negara untuk melaksanakan pelayanan
sosial lebih kuat daripada masyarakat atau dunia usaha.
Kebijakan ekonomi yang pro rakyat,
tanpa anti terhadap ekonomi pro pasar merupakan jalan tengah atas persoalan
ekonomi yang melilit bangsa ini dalam arti
masih banyaknya kemiskinan dan pengangguran di Indonesia karena
kebijakan makro pemerintah tidak berpihak kepada rakyat, tetapi lebih berpihak
kepada elit penguasa dan juga pengusaha.
Namun demikian meskipun penolakan
desakan dan tuntutan untuk mengubah haluan kebijakan politik ekonomi yang
neoliberal ke demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan), namun sampai saat ini
sikap pemerintah bergeming dengan keputusan mereka yang sudah dianggap final.
Banyak sekali tulisan yang terpublikasi
tentang bagaimana buruknya perlakukan pemerintah di suatu daerah terhadap
kelompok miskin dan kaum marjinal. Walaupun sudah ada beberapa daerah yang menunjukkan kepeduliannya dan mencoba
menerapkan kebijakan yang pro-poor,
misalnya dengan memberikan pelayanan kesehatan atau pendidikan gratis, tetapi kebijakan-kebijakan
populis seperti memjadi pemikat ketika kaum elit berebut suara pada masa pemilihan
kepala daerah. Padahal, selain kebijakan pelayanan kesehatan dan pendidikan
gratis, ada berbagai cara lain yang dapat dikembangkan oleh pemerintah daerah
untuk menunjukkan keberpihakannya pada kaum miskin.
APBD YANG PRO-POOR
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN), menurut pasal 23 ayat (1) UUD 1945 adalah sebagai wujud dari
pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, artinya APBN dan
APBD adalah untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dan relevan
dengan sila ke lima dari Pancasila yang menyebutkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Tetapi dalam prakteknya saat ini,
APBN dan APBD ternyata lebih banyak terserap untuk belanja pegawai (kepentingan
birokrat) dari pada belanja untuk kepentingan rakyat banyak, sehinga setiap
tahun anggaran dalam struktur APBN dan APBD yang lebih banyak dihabiskan untuk
belanja kepentingan birokrat.
Dengan postur APBD seperti ini jelas bagian yang diperoleh rakyat dari pajak
yang dibayarkannya hanya sedikit. Karena tersedotnya anggaran yang lebih besar
bagi birokrat dan dapat dikatakan APBD yang ada bukan lagi pro poor dan pro
jobs. Mungkin sampai kiamatpun tidak akan terwujudkan APBD yang bisa
memberikan kemakmuran dan keadilan bagi rakyat di daerah. Kalau kemakmuran dan
keadilan bagi birokrat sudah pasti dan kemiskinan yang beranak pinak bagi
rakyat sudah jelas.
Berangkat dari kondisi ini pembengkakan
keperluan belanja pegawai setiap tahun anggaran akan terus terjadi. Faktor penyebabnya
adalah pertama belum dilakukan reformasi dalam struktur birokrasi di daerah.
Konsekuensi jumlah pegawai yang besar, jelas akan mempengaruhi terhadap
besarnya honorium PNS dan non PNS, termasuk uang lembur dll. Faktor kedua
terkait dengan banyaknya kegiatan yang dilaksanakan oleh SKPD. Permasalahannya
adalah tidak ada batasan yang jelas setiap pegawai berapa banyak (maksimal)
ada dalam suatu kegiatan, yang kegiatan tersebut ada belanja pegawai, sehingga
terjadi kecenderungan untuk memecah kegiatan yang tujuannya adalah untuk
memperbesar honor-honor tersebut. Faktor ketiga adalah besarnya tambahan
penghasilan PNS. Karena Pemerintah daerah dapat memberikan tambahan penghasilan
kepada birokrat daerah sepanjang kemampuan keuangan daerah memungkinkan dan
memperoleh persetujuan DPRD.
PARADIGMA ANGGARAN DAERAH
Terjadinya
pergeseran model pemerintahan daerah dari sentralisasi menjadi desentralisasi sebenarnya
telah menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma anggaran daerah, artinta dalam
era otonomi sekarang ini seharusnya paradigm anggaran yang diperlukan
adalah bertumpu pada kepentingan public; transparansi dan akuntabilitas;
dikelola dengan pendekatan kinerja (performance oriented) untuk seluruh
jenis pengeluaran.
Namun
yang terpenting dari semua itu sebagaimana amanat otonomi daerah yang bertujuan
untuk memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat, sehingga pengelolaan
keuangan daerah harus selalu bertumpu pada kepentingan publik (public
oriented). Wujud dari pada APBD yang bertumpu kepada kepentingan publik
tersebut ditandai dengan lebih besarnya porsi pengalokasian anggaran untuk
kepentingan publik dan adanya partisipasi masyarakat dalam perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan/pengendalian.
Terkait
dengan partisipasi masyarakat, belum optimal dilibatkan dalam pembahasan APBD.
Peraturan mengamanatkan seharusnya penyusunan APBD harus melibatkan
partisipasi masyarakat, tetapi partisipasi masyarakat dimaknai hanya
sebatas ikut Musrenbang dan DPRD sudah dianggap mewakili rakyat. Hal ini
terjadi karena pola fikir yang salah dari banyak aparat di daerah yang
masih beranggapan bahwa dokumen APBD adalah dokumen rahasia yang tidak boleh
diketahui dan diakses publik dan yang boleh tahu hanya birokrat saja.
Padahal
menurut UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik setiap badan
publik wajib menyampaikan informasi pulik dalam hal ini RAPBD/APBD kepada
masyarakat luas dan apabila hal ini tidak dilakukan maka pejabat di badan
publik tersebut dapat dikenai sanksi pidana. Peraturan tegas
menyebutkan bahwa penyusunan APBD dilakukan secara transparan, sehingga akan
memudahkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya
tentang APBD. Logika yang muncul, ketertutupan birokrat terhadap tranparansi
APBD yang ada semakin menambah kecurigaan bahwa ada yang tidak beres dalam
setiap mata anggaran yang dialokasikan.
Desentralisasi
sesungguhnya memberikan kesempatan yang lebih besar kepada pemerintah daerah
untuk mengembangkan berbagai prakarsa yang bersifat pro-poor, artinya pemerintah daerah bisa berupaya lebih serius untuk mengatasi persoalan
kemiskinan, dan memberikan perhatian dan kepemihakan yang lebih tegas kepada kepentingan
kelompok-kelompok miskin. Namun bagaimana pada akhirnya karakter kebijakan
daerah dibentuk, sangat tergantung kepada kapasitas dan kemauan dari pemerintah
untuk merespon tuntutan dari kelompok miskin, kepada relasi kekuasaan maupun
sistem politik yang ada, dan kepada kemampuan komunitas miskin untuk bersuara.
FUNGSI PENGAWASAN
DPRD.
Terkait
dengan membengkaknya anggaran untuk kepentingan birokrasi, seharusnya DPRD bisa
menjalankan fungsi anggaran yang dimilikinya dengan baik. Artinya DPRD mestinya
lebih mengetahui mana kebutuhan anggaran yang tidak pro rakyat dan mana yang
pro birokrat, kita semua tahu bahwa DPRD adalah representasi dari pada rakyat.
Sebagai wakilnya rakyat dan bapaknya rakyat, mestinya DPRD dapat mendengar,
membaca dan menyuarakan kepentingan rakyat lewat APBD yang pro
rakyat.
Dalam
prakteknya, fungsi pengawasan DPRD tersebut tidak berjalan sebagaimana yang
diamanatkan undang-undang. DPRD sepertinya kurang melakukan pengawasan terhadap
proses penyusunan dan pelaksanaan APBD. DPRD sepertinya lebih suka mengamankan
kepentingan dan kebutuhannya dari pada rakyat.
Fungsi
pengawasan dewan yang seharusnya mampu untuk menjawab apa yang menjadi aspirasi
dan kebutuhan akan program-program yang pro rakyat, seringkali dinodai dengan pemenuhan
kepentingan dan kebutuhan sendiri yang kadang tidak terlalu mendesak.
Pada
dasarnya rakyat sangat berharap banyak kepada DPRD agar dapat menggunakan
fungsinya, baik dalam pelaksanaan fungsi anggaran maupun pengawasan, sehingga
apa yang tertuang dalam APBD benar-benar memenuhi kepentingan dan kebutuhan
rakyat di daerah.
Dalam
regulasi, DPRD mempunyai fungsi pengawasan, fungsi legislasi (pembuatan Perda)
bersama eksekutif, dan fungsi anggaran (budgeter) yang pada hakekatnya karena
mereka terpilih melalui proses pemilu dengan diberi suara (mandat) oleh rakyat,
maka seharusnya kepentingan rakyatlah yang diutamakan.
Namun,
tidak selamanya seperti itu, karena setidaknya ada 3 kepentingan di sini yaitu
kepentingan politik, kepentingan pribadi dan kepentingan konstituen.
TUNTUTAN PERBAIKAN
Pelayanan
Publik memiliki implikasi yang luas terkait dengan kehidupan politik kita.
Artinya buruknya pelayanan publik dapat mendorong munculnya krisis kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah yang dapat teraktualisasi dalam bentuk protes
dan demonstrasi yang cenderung tidak sehat bahkan anarkis yang menunjukkan
kefrustasian publik terhadap pemerintahnya.
Implikasi
lain terkait daya tarik investasi, dalam artian pelayanan publik yang buruk
termasuk adanya pungli oleh oknum-oknum tertentu ditambah infrastruktur yang
rusak, maka para investor akan menjauh dari Indonesia. Belum lagi terkait
pengurusan ijin usaha yang berbelit, memakan waktu berbulan-bulan dengan biaya
tingi. Akibatnya banyak investor yang tidak jadi menanamkan modalnya di
Indonesia, padahal semakin banyak mereka membuka usaha di Indonesia akan
semakin banyak tenaga kerja yang terserap, pengangguran berkurang, pendapatan
rakyat naik, ada pemasukan terhadap kas negara sehingga pertumbuhan
ekonomi kita menjadi lebih cepat.
Oleh
karena itu, perbaikan pelayanan publik mutlak diperlukan agar image buruk
masyarakat terhadap pemerintah dapat diperbaiki, yang sekaligus meningkatkan
kepercayaan investor terhadap Indonesia. Sebenarnya sudah banyak usaha yang
dilakukan oleh pemerintah kita, tetapi mungkin karena terhambatnya birokrasi
kita dengan paradigma lama yang susah berubah ditambah dengan luasnya wilayah
sehingga menyulitkan dalam pengawasan dan evaluasi, maka semua peraturan itu
mentah di lapangan dan hanya menjadi macan kertas.
Padahal
dalam Rencana Pembangunan jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 pemerintah
menetapkan Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik dengan 9 sasaran utama
yaitu :
1. Meningkatkan kualitas pelayanan
kepada masyarakat dan dunia usaha.
2. Menerapkan prinsip-prinsip Good Governance dalam kegiatan
pelayanan.
3. Melakukan deregulasi,
debirokratisasi dan privatisasi untuk menghilangkan berbagai hambatan dalam
pelayanan publik.
4. Meningkatkan penerapan sistem merit
dalam pelayanan.
5. Memantapkan koordinasi dalam
pelayanan.
6. Mengoptimalkan penggunaan ICT dalam
pelayanan publik.
7. Mengintensifkan penanganan pengaduan
masyarakat.
8. Mengembangkan partisipasi
masyarakat, khususnya di wilayah kabupaten/kota dalam kegiatan perumusan
program dan kebijakan layanan publik.
9. Mengembangkan mekanisme pelaporan
kinerja pelayanan publik.
Sungguh
indah dan menyeluruh program di atas, tetapi sekali lagi, semua itu akhirnya
kandas di implementasinya.
ALTERNATIF
TINDAKAN
Sejalan
dengan tuntutan perbaikan diatas barangkali dapat dipikirkan alternatif yang bisa
dilakukan untuk menciptakan keseimbangan ketiga dimensi pelayanan publik.
Pertama, memperkecil gap
atau jarak antara pemerintah dengan rakyat (publik), yang dapat dilakukan apabila pola
pikir (mindset) birokrat dari paradigma penguasa ke
paradigma pelayan (abdi Negara).
Kedua, membangun komitmen bersama untuk menciptakan perbaikan
kualitas pelayanan
sejalan dengan harapan msyarakat yang
seringkali tidak didukung dengan komitmen birokrasi dan kondisi
lingkungan pelayanan publik yang kurang mendukung terutama pada Level
Street Bureaucratic
Ketiga, memberikan
keluasan publik untuk menyampaikan keluhan secara transparan dan memberikan
respon secara arif dan bijaksana. Sebenarnya publik dapat meng-complain penyedia
layanan jika pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan
minimum yang telah dijanjikan
tetapi kebanyakan masyarakat pengguna layanan masih banyak yang
belum mengetahui mekanisme menyampaikan keluhan yang terjadi dalam proses
pelayanan publik.
Keempat, menerapkan
prinsip akuntabilitas, proaktif dan partnership sesuai dengan situasi
dan kondisi setempat
yang pada dasarnya langkah ini adalah sejauh mana penyedia layanan memberikan
pertanggungjawaban terhadap masyarakat sebagai pengguna layanan dan birokrasi
proaktif dan menganggap masyarakat sebagai mitra dalam proses pelayanan publik
Mengingat pentingnya pelayanan publik yang pro-poor adalah salah
satu indikator penerapan good governance, maka gagasan pelayanan
publik yang pro-poor harus terus
dikumandangkan. Untuk memberikan motivasi kepada para penyelenggara pelayanan
publik, barangkali dapat dilakukan semacam perlombaan dan pemberian penghargaan
bagi unit kerja yang berprestasi dan sangsi bagi yang kinerja pelayannya rendah
dan dilakukann upaya perbaikan secara terus menerus dan berkelanjutan, serta
disesuikan dengan perkembangan perubahan situasi dan kondisi.
Semarang, Oktober 2013
REFERENSI
Denhardt and
Denhardt, (2002), The New Public Service, Serving, Not Steering, ME
sharpe , Armonk, New York, London, England
Faih, Mansour,
(2011), Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Insist Press,
Yogyakarta
KepMenpan No
63/2003 tentang Pelayanan Publik
Suadi, Falih,
(2010), Graha Ilmu, YokyakartaRevitalisasi Administrasi Negara, Reformasi
Birokrasi dan e-Governance,
Sudarmayanti,
(2010), Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan
Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemiminan yang baik), Aditama,
Bandung
Sumarto, Sj
Hetifah, (2009), Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Wicaksono,
Kristian Widya, (2006) Administrasi Dan Birokrasi Pemerintah, Graha
Ilmu, Yogyakarta
Wicaksono,
Samodro, (2005), Reformasi
Administrasi (Bunga Rampai Pemikiran Administrasi Negara/Publik), Gava
Media, Yogyakarta
Yeremis T
Keban,2008), Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik, Gava Media,
Yogyakarta