Jumat, 18 Oktober 2013

MENGGAGAS PELAYANAN PUBLIK YANG PRO-POOR



MENGGAGAS PELAYANAN PUBLIK YANG PRO-POOR
Oleh : Munawar Noor **)
(sebagai bahan diskusi pada Simposium Ilmuwan Administrasi Negara Untuk Indonesia Tahun 2013)
ABSTRAK
         Wujud dan bentuk pelayanan publik di Indonesia dalam banyak hal masih jalan di tempat walaupun reward and punishment-nyapun telah dibuat, bahkan berbagai aturan selalu diperbaharui oleh pejabat yang baru termasuk kementerian PAN telah berubah menjadi Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
          Barangkali terjadinya semua itu karena sikap mental (Mind Set) yang telah terbentuk ratusan tahun sejak nenek moyang kita dan jaman penjajahan, sementara itu tuntutan reformasi dalam segala bidang kehidupan,mustinya harus terjadi perubahan  paradigma Pegawai Negeri yang tidak lagi sebagai pihak yang selalu dilayani tetapi melayani, tetapi nampaknya paradigma lama sudah terlanjur mendarah daging maka sangatlah sulit untuk berubah.
          Oleh karena itu diperlukan langkah alternatif yang melibatkan seluruh komponen pemerintah untuk mengurai komponen pelayanan publik yang pro-poor.

Kata Kunci : pelayanan publik, reformasi, paradigma, pro-poor

PENDAHULUAN
Gerakan reformasi 1998 telah menghasilkan berbagai macam tuntutan perubahan di segala sektor kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama  tuntutan yang  berkisar pada pemenuhan hak-hak warga negara serta pelibatan masyarakat dalam pengelolaan negara. Tuntutan ini kemudian diletakkan dalam kerangka pencapaian tujuan bernegara, yaitu untuk mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang pemenuhannya memerlukan mobilisasi sumber daya yang dimiliki oleh negara.
Akumulasi sumber daya yang dikerahkan untuk membiayai segala aktivitas dalam rangka pemenuhan tujuan bernegara kemudian dituangkan dalam bentuk anggaran negara. (APBN) sebagai instrumen
_________________________________
**) Dosen FISIP UNTAG Semarang
pemerintah untuk menyelenggarakan berbagai kebijakan serta dapat menjadi cermin untuk melihat hubungan antara masyarakat dan negara.
APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang mempunyai fungsi : Pertama, fungsi otorisasi karena menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja tahun yang bersangkutan. Kedua, mempunyai fungsi perencanaan karena menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. Ketiga, fungsi pengawasan untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan. Keempat, fungsi alokasi untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi. Kelima, fungsi distribusi dimana kebijakan anggaran harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Keenam, berfungsi sebagai alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
Selain fungsi-fungsi tersebut diatas, anggaran juga berfungsi sebagai alat politik (political tool) yang dalam penyusunannya membutuhkan political skill untuk bernegosiasi dan berkompromi terhadap banyaknya kepentingan yang bermain. Penyusunan anggaran dipandang sebagai suatu proses perebutan sumber daya yang jumlahnya terbatas dengan melibatkan banyak pihak yang sarat akan beragam kepentingan, sehingga proses budgeting diletakkan dalam kerangka yang sifatnya politis ketimbang proses teknokratis semata.
Indonesia masih menghadapi persoalan kemiskinan yang serius, tetapi  Ironisnya, masih banyak kebijakan publik di Indonesia yang pro-rich, ketimbang pro-poor yang sepertinya negara tidak pernah dirasakan kehadirannya oleh mereka yang lemah atau dilemahkan, yang miskin atau yang dimiskinkan. Padahal, kebijakan publik seharusnya lebih memihak orang miskin ketimbang orang kaya, selain jumlah penduduk miskin lebih besar daripada penduduk kaya, orang kaya memiliki sumber daya untuk menolong dirinya sendiri,  dalam artian tanpa ditolong negara, orang kaya mampu menolong dirinya sendiri dan bahkan menolong orang lain.

PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA
Mencermati pelayanan publik di Indonesia bagaikan mengurai benang kusut dalam artian berbagai peraturan berikut reward and punishment-nyapun telah dibuat, tetapi nampaknya masih jalan ditempat, bahkan berbagai aturan selalu diperbaharui oleh pejabat yang baru termasuk kementerian PAN telah berubah menjadi Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Barangkali terjadinya semua itu karena sikap mental (Mind Set) yang telah terbentuk ratusan tahun sejak nenek moyang kita dan jaman penjajahan. Bahwa Raja dan pejabat kerajaan adalah orang-orang yang harus selalu dihormati dan dilayani rakyatnya, bukan melayani.  Pada jaman penjajahan, Belanda dan para pegawainya adalah orang yang asal perintah dan hidupnya bermewah-mewah diatas penderitaan rakyat. Oleh karena itu ketika kemerdekaan tiba, banyak orang tua yang bermimpi dan mendorong anaknya sekolah agar kelak menjadi pegawai yang hidupnya enak, gajian tiap bulan, dihormati dan bisa memerintah orang-orang serta terpandang dalam masyarakat.
Tuntutan reformasi dalam segala bidang kehidupan,mustinya harus terjadi perubahan  paradigma Pegawai Negeri yang tidak lagi sebagai pihak yang selalu dilayani tetapi melayani, tetapi nampaknya paradigma lama sudah terlanjur mendarah daging maka sangatlah sulit untuk berubah. Sementara itu Pelayanan Publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun Asas Pelayanan Publik antara lain menyangkut Transparansi; Akuntabilitas; Kondisional; Partisipatif; Kesamaan Hak; Keseimbangan Hak dan Kewajiban (Keputusan MenPAN No. 63/KEP/M.PAN/7/2003) tentang  Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Dari pengertian pelayanan dan pelayanan publik yang diuraikan tersebut, dalam kontek pemerintah daerah, pelayanan publik dapat dimengerti sebagai pemberian layanan atau melayani keperluan orang atau masyarakat dan/atau organisasi lain yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu, sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditentukan dan ditujukan untuk memberikan kepuasan kepada penerima pelayanan. Dengan demikian, terdapat 3 unsur penting dalam pelayanan publik, yaitu unsur pertama, adalah organisasi pemberi (penyelenggara) pelayanan yaitu Pemerintah Daerah; unsur kedua adalah penerima layanan (pelanggan) yaitu orang atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan, dan unsur ketiga adalah kepuasan yang diberikan dan/atau diterima oleh penerima layanan (pelanggan).
Dalam kontek good governance, untuk mewujudkan pelayanan publik yang baik, selain didasarkan pada kriteria atau unsur-unsur pemerintahan yang baik, diperlukan kebijakan pemerintahan dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan operasionalnya. sehingga landasan hukum yang terkait dengan pelayanan publik menjadi penting untuk dikemukakan.
Pengaturan pelayanan publik di Indonesia dituangkan dalam : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan Sektoral, diantaranya dengan, : Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah dan perubahannya, Keputusan MENPAN No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Keputusan MENPAN Nomor KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Instansi Pelayanan Pemerintah, Peraturan MENPAN Nomor PER/20/M.PAN/04/2006 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Publik, Keputusan MENPAN Nomor : KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang petunjuk teknis transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik, Surat Edaran MENPAN Nomor SE/15/M.PAN/9/2005 tentang peningkatan intensitas pengawasan dalam upaya perbaikan pelayanan publik, Surat Edaran MENPAN Nomor : SE/ 10 /M.PAN/07/2005 tentang prioritas peningkatan kualitas pelayanan publik.

BELUM BERPIHAK PADA RAKYAT MISKIN
        Bagaimana hubungan antara tata pemerintahan dengan kemiskinan? Jawaban pertanyaan ini adalah apabila kehidupan dan kesejahteraan masyarakat miskin dapat diperbaiki dan akses mereka terhadap ruang, sumber daya ekonomi, infrastruktur, pelayanan publik dasar, serta informasi ditingkatkan oleh pemerintah.
       Tetapi apakah elemen-elemen yang penting ini bisa dijangkau oleh kelompok miskin dan kaum marjinal atau tidak, tentunya sangat tergantung pada bagaimana pemerintah berfungsi dan bagaimana proses politik dan pengambilan keputusan publik berlangsung. Sayangnya, masyarakat miskin pada umumnya menghadapi kesulitan untuk bisa menyuarakan kepentingannya, apalagi mempengaruhi keputusan yang terkait dengan penggunaan sumber daya yang langka seperti ruang dan anggaran daerah. Situasi ini diperburuk dengan kurang responsifnya pemerintah daerah maupun para politisi dalam menanggapi masalah-masalah yang dihadapi penduduknya yang miskin.
Negara adalah institusi paling absah yang memiliki kewenangan menarik pajak maupun restribusi dari rakyat, sehingga paling berkewajiban menyediakan pelayanan sosial dasar bagi warganya. Sebagai lembaga yang memiliki legitimasi publik yang dipilih dan dibiayai oleh rakyat, negara memiliki kewajiban dalam memenuhi, melindungi, dan menghargai hak-hak dasar, ekonomi, dan budaya warganya. Mandat negara untuk melaksanakan pelayanan sosial lebih kuat daripada masyarakat atau dunia usaha.
Kebijakan ekonomi yang pro rakyat, tanpa anti terhadap ekonomi pro pasar merupakan jalan tengah atas persoalan ekonomi yang melilit bangsa ini dalam arti  masih banyaknya kemiskinan dan pengangguran di Indonesia karena kebijakan makro pemerintah tidak berpihak kepada rakyat, tetapi lebih berpihak kepada elit penguasa dan juga pengusaha.
Namun demikian meskipun penolakan desakan dan tuntutan untuk mengubah haluan kebijakan politik ekonomi yang neoliberal ke demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan), namun sampai saat ini sikap pemerintah bergeming dengan keputusan mereka yang sudah dianggap final.
           Banyak sekali tulisan yang terpublikasi tentang bagaimana buruknya perlakukan pemerintah di suatu daerah terhadap kelompok miskin dan kaum marjinal. Walaupun sudah ada beberapa daerah yang  menunjukkan kepeduliannya dan mencoba menerapkan kebijakan yang pro-poor, misalnya dengan memberikan pelayanan kesehatan atau pendidikan gratis, tetapi kebijakan-kebijakan populis seperti memjadi pemikat ketika kaum elit berebut suara pada masa pemilihan kepala daerah. Padahal, selain kebijakan pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis, ada berbagai cara lain yang dapat dikembangkan oleh pemerintah daerah untuk menunjukkan keberpihakannya pada kaum miskin.
APBD YANG PRO-POOR
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), menurut pasal 23 ayat (1) UUD 1945 adalah sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, artinya APBN dan APBD adalah untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dan relevan dengan sila ke lima dari Pancasila yang menyebutkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tetapi dalam prakteknya saat ini, APBN dan APBD ternyata lebih banyak terserap untuk belanja pegawai (kepentingan birokrat) dari pada belanja untuk kepentingan rakyat banyak, sehinga setiap tahun anggaran dalam struktur APBN dan APBD yang lebih banyak dihabiskan untuk belanja kepentingan birokrat.
Dengan postur APBD seperti ini  jelas bagian yang diperoleh rakyat dari pajak yang dibayarkannya hanya sedikit. Karena tersedotnya anggaran yang lebih besar bagi birokrat dan dapat dikatakan APBD yang ada bukan lagi pro poor dan pro jobs.  Mungkin sampai kiamatpun tidak akan terwujudkan APBD yang bisa memberikan kemakmuran dan keadilan bagi rakyat di daerah. Kalau kemakmuran dan keadilan bagi birokrat sudah pasti dan kemiskinan yang beranak pinak bagi rakyat sudah jelas.
Berangkat dari kondisi ini pembengkakan keperluan belanja pegawai setiap tahun anggaran akan terus terjadi. Faktor penyebabnya adalah pertama belum dilakukan reformasi dalam struktur birokrasi di daerah. Konsekuensi jumlah pegawai yang besar, jelas akan mempengaruhi terhadap besarnya honorium PNS dan non PNS, termasuk uang lembur dll. Faktor kedua terkait dengan banyaknya kegiatan yang dilaksanakan oleh SKPD. Permasalahannya adalah tidak ada batasan yang jelas setiap pegawai berapa banyak (maksimal)  ada dalam suatu kegiatan, yang kegiatan tersebut ada belanja pegawai, sehingga terjadi kecenderungan untuk memecah kegiatan yang tujuannya adalah untuk memperbesar honor-honor tersebut. Faktor ketiga adalah besarnya tambahan penghasilan PNS. Karena Pemerintah daerah dapat memberikan tambahan penghasilan kepada birokrat daerah sepanjang kemampuan keuangan daerah memungkinkan dan memperoleh persetujuan DPRD.



PARADIGMA ANGGARAN DAERAH                                             
Terjadinya pergeseran model pemerintahan daerah dari sentralisasi menjadi desentralisasi sebenarnya telah menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma anggaran daerah, artinta dalam era otonomi sekarang ini seharusnya  paradigm anggaran yang diperlukan adalah bertumpu pada kepentingan public;  transparansi dan akuntabilitas; dikelola dengan pendekatan kinerja (performance oriented) untuk seluruh jenis pengeluaran.
Namun yang terpenting dari semua itu sebagaimana amanat otonomi daerah yang bertujuan untuk memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat, sehingga pengelolaan keuangan daerah harus selalu bertumpu pada kepentingan publik (public oriented). Wujud dari pada APBD yang bertumpu kepada kepentingan publik tersebut ditandai dengan lebih besarnya porsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik dan adanya  partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan/pengendalian.
Terkait dengan partisipasi masyarakat, belum optimal dilibatkan dalam pembahasan APBD. Peraturan mengamanatkan seharusnya  penyusunan APBD harus melibatkan partisipasi masyarakat, tetapi partisipasi masyarakat dimaknai hanya  sebatas ikut Musrenbang dan DPRD sudah dianggap mewakili rakyat. Hal ini terjadi  karena pola fikir yang salah dari banyak aparat di daerah yang masih beranggapan bahwa dokumen APBD adalah dokumen rahasia yang tidak boleh diketahui dan diakses publik dan yang boleh tahu hanya birokrat saja.
Padahal menurut UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik setiap badan publik wajib menyampaikan informasi pulik dalam hal ini RAPBD/APBD kepada masyarakat luas dan apabila hal ini tidak dilakukan maka pejabat di badan publik tersebut dapat dikenai sanksi pidana.  Peraturan tegas menyebutkan bahwa penyusunan APBD dilakukan secara transparan, sehingga akan memudahkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang APBD. Logika yang muncul, ketertutupan birokrat terhadap tranparansi APBD yang ada semakin menambah kecurigaan bahwa ada yang tidak beres dalam setiap mata anggaran yang dialokasikan.
Desentralisasi sesungguhnya memberikan kesempatan yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan berbagai prakarsa yang bersifat pro-poor, artinya pemerintah daerah bisa berupaya  lebih serius untuk mengatasi persoalan kemiskinan, dan memberikan perhatian dan kepemihakan yang lebih tegas kepada kepentingan kelompok-kelompok miskin. Namun bagaimana pada akhirnya karakter kebijakan daerah dibentuk, sangat tergantung kepada kapasitas dan kemauan dari pemerintah untuk merespon tuntutan dari kelompok miskin, kepada relasi kekuasaan maupun sistem politik yang ada, dan kepada kemampuan komunitas miskin untuk bersuara.

FUNGSI PENGAWASAN DPRD.      
Terkait dengan membengkaknya anggaran untuk kepentingan birokrasi, seharusnya DPRD bisa menjalankan fungsi anggaran yang dimilikinya dengan baik. Artinya DPRD mestinya lebih mengetahui mana kebutuhan anggaran yang tidak pro rakyat dan mana yang pro birokrat, kita semua tahu bahwa DPRD adalah representasi dari pada rakyat. Sebagai wakilnya rakyat dan bapaknya rakyat, mestinya DPRD dapat mendengar, membaca dan menyuarakan kepentingan rakyat  lewat APBD yang  pro rakyat.
Dalam prakteknya, fungsi pengawasan DPRD tersebut tidak berjalan sebagaimana yang diamanatkan undang-undang. DPRD sepertinya kurang melakukan pengawasan terhadap proses penyusunan dan pelaksanaan APBD. DPRD sepertinya lebih suka mengamankan kepentingan dan kebutuhannya dari pada rakyat.
Fungsi pengawasan dewan yang seharusnya mampu untuk menjawab apa yang menjadi aspirasi dan kebutuhan akan program-program yang pro rakyat, seringkali dinodai dengan pemenuhan kepentingan dan kebutuhan sendiri  yang kadang tidak terlalu mendesak.
Pada dasarnya rakyat sangat berharap banyak kepada  DPRD agar dapat menggunakan fungsinya, baik dalam pelaksanaan fungsi anggaran maupun pengawasan, sehingga apa yang tertuang dalam APBD benar-benar memenuhi kepentingan dan kebutuhan rakyat di daerah.
Dalam regulasi, DPRD mempunyai fungsi pengawasan, fungsi legislasi (pembuatan Perda) bersama eksekutif, dan fungsi anggaran (budgeter) yang pada hakekatnya karena mereka terpilih melalui proses pemilu dengan diberi suara (mandat) oleh rakyat, maka seharusnya kepentingan rakyatlah yang diutamakan.
Namun, tidak selamanya seperti itu, karena setidaknya ada 3 kepentingan di sini yaitu kepentingan politik, kepentingan pribadi dan kepentingan konstituen.

TUNTUTAN PERBAIKAN
Pelayanan Publik memiliki implikasi yang luas terkait dengan kehidupan politik kita. Artinya buruknya pelayanan publik dapat mendorong munculnya krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang dapat teraktualisasi dalam bentuk protes dan demonstrasi yang cenderung tidak sehat bahkan anarkis yang menunjukkan kefrustasian publik terhadap pemerintahnya.
Implikasi lain terkait daya tarik investasi, dalam artian pelayanan publik yang buruk termasuk adanya pungli oleh oknum-oknum tertentu ditambah infrastruktur yang rusak, maka para investor akan menjauh dari Indonesia. Belum lagi terkait pengurusan ijin usaha yang berbelit, memakan waktu berbulan-bulan dengan biaya tingi. Akibatnya banyak investor yang tidak jadi menanamkan modalnya di Indonesia, padahal semakin banyak mereka membuka usaha di Indonesia akan semakin banyak tenaga kerja yang terserap, pengangguran berkurang, pendapatan rakyat naik, ada pemasukan terhadap kas negara sehingga  pertumbuhan ekonomi kita menjadi lebih cepat.
Oleh karena itu, perbaikan pelayanan publik mutlak diperlukan agar image buruk masyarakat terhadap pemerintah dapat diperbaiki, yang sekaligus meningkatkan kepercayaan investor terhadap Indonesia. Sebenarnya sudah banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah kita, tetapi mungkin karena terhambatnya birokrasi kita dengan paradigma lama yang susah berubah ditambah dengan luasnya wilayah sehingga menyulitkan dalam pengawasan dan evaluasi, maka semua peraturan itu mentah di lapangan dan hanya menjadi macan kertas.
Padahal dalam Rencana Pembangunan jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 pemerintah menetapkan Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik dengan 9 sasaran utama yaitu :
1.    Meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha.
2.    Menerapkan prinsip-prinsip Good Governance dalam kegiatan pelayanan.
3.    Melakukan deregulasi, debirokratisasi dan privatisasi untuk menghilangkan berbagai hambatan dalam pelayanan publik.
4.    Meningkatkan penerapan sistem merit dalam pelayanan.
5.    Memantapkan koordinasi dalam pelayanan.
6.    Mengoptimalkan penggunaan ICT dalam pelayanan publik.
7.    Mengintensifkan penanganan pengaduan masyarakat.
8.    Mengembangkan partisipasi masyarakat, khususnya di wilayah kabupaten/kota dalam kegiatan perumusan program dan kebijakan layanan publik.
9.    Mengembangkan mekanisme pelaporan kinerja pelayanan publik.
Sungguh indah dan menyeluruh program di atas, tetapi sekali lagi, semua itu akhirnya kandas di implementasinya.


ALTERNATIF TINDAKAN
Sejalan dengan tuntutan perbaikan diatas barangkali dapat dipikirkan alternatif yang bisa dilakukan untuk menciptakan keseimbangan ketiga dimensi pelayanan publik.
Pertama, memperkecil gap atau jarak antara pemerintah dengan rakyat (publik), yang dapat dilakukan apabila pola pikir (mindset) birokrat dari paradigma penguasa ke paradigma pelayan (abdi Negara).
Kedua, membangun komitmen bersama untuk menciptakan perbaikan kualitas pelayanan sejalan dengan harapan msyarakat yang seringkali tidak didukung dengan komitmen birokrasi dan kondisi lingkungan pelayanan publik yang kurang mendukung terutama pada Level Street Bureaucratic
Ketiga, memberikan keluasan publik untuk menyampaikan keluhan secara transparan dan memberikan respon secara arif dan bijaksana. Sebenarnya publik dapat meng-complain penyedia layanan jika pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan minimum yang telah dijanjikan tetapi kebanyakan masyarakat pengguna layanan masih banyak yang belum mengetahui mekanisme menyampaikan keluhan yang terjadi dalam proses pelayanan publik.
Keempat, menerapkan prinsip akuntabilitas, proaktif dan partnership sesuai dengan situasi dan kondisi setempat yang pada dasarnya langkah ini adalah sejauh mana penyedia layanan memberikan pertanggungjawaban terhadap masyarakat sebagai pengguna layanan dan birokrasi proaktif dan menganggap masyarakat sebagai mitra dalam proses pelayanan publik
Mengingat pentingnya pelayanan publik yang pro-poor adalah salah satu indikator penerapan good governance, maka gagasan pelayanan publik yang pro-poor harus terus dikumandangkan. Untuk memberikan motivasi kepada para penyelenggara pelayanan publik, barangkali dapat dilakukan semacam perlombaan dan pemberian penghargaan bagi unit kerja yang berprestasi dan sangsi bagi yang kinerja pelayannya rendah dan dilakukann upaya perbaikan secara terus menerus dan berkelanjutan, serta disesuikan dengan perkembangan perubahan situasi dan kondisi.

                                                                       Semarang, Oktober 2013


























                                         REFERENSI
Denhardt and Denhardt, (2002), The New Public Service, Serving, Not Steering, ME sharpe , Armonk, New York, London, England
Faih, Mansour, (2011), Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Insist Press, Yogyakarta
KepMenpan No 63/2003 tentang Pelayanan Publik
Suadi, Falih, (2010), Graha Ilmu, YokyakartaRevitalisasi Administrasi Negara, Reformasi Birokrasi dan e-Governance,
Sudarmayanti, (2010), Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemiminan yang baik), Aditama, Bandung
Sumarto, Sj Hetifah, (2009), Inovasi, Partisipasi dan Good Governance,  Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Wicaksono, Kristian Widya, (2006) Administrasi Dan Birokrasi Pemerintah, Graha Ilmu, Yogyakarta
Wicaksono, Samodro,  (2005), Reformasi Administrasi (Bunga Rampai Pemikiran Administrasi Negara/Publik), Gava Media, Yogyakarta
Yeremis T Keban,2008), Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik, Gava Media, Yogyakarta