Senin, 29 Juni 2015

Bonus Demografi



                  

                           KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
                                                     DAN BONUS  DEMOGRAFI
                                                               Munawar Noor
ABSTRAK
Asumsi dasar untuk memahami bonus demografi adalah kondisi komposisi penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar dibandingkan dengan penduduk usia non produktif (dibawah 15 dan di atas 65 tahun) dalam rentangan waktu tertentu. Idealnya, masyarakat dapat mengetahui apa bonus demografi tersebut, yaitu dengan memahami posisi mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,  begitupun dengan pemangku kebijakan dengan menyadari pentingnya mengeluarkan kebijakan-kebijkan yang dapat men-support agar potensi-potensi yang dimiliki oleh penduduk-penduduk usia produktif tersebut optimal dan maksimal.  Harapannya  adalah munculnya kesadaran akan peran strategis penduduk usia produktif, terutama kaum muda sebagai ‘motor penggerak’ bangsa. Pada dasarnya ada syarat untuk dapat memanfaatkan peluang bonus demografi yaitu , terwujudnya penduduk berkualitas dengan tersedianya pendidikan yang baik, kemudian tersedianya layanan kesehatan yang baik, memiliki etos kerja, dan kebijakan yang menopang usia produktif agar berdaya guna.
Logika berfikirnya adalah, bagaimana akan terciptanya penduduk berkualitas, sementara masih banyaknya masyarakat yang tidak dapat mengenyam pendidikan secara merata pada tingkat jenjang yang tinggi sebagai syarat untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang baik. Jika ada penyediaan fasilitas seperti sekolah-sekolah, apakah sudah sebahagian besar dari rakyat Indonesia mampu untuk mengukutinya terutama secara finansial karena masih mahalnya biaya sekolah atau peluang yang diberikan,termasuk akses dan fasilitas yang memadai, terutama pada daerah-daerah terpencil atau perbatasan.
Dengan demikian, ketika bonus demografi adalah pembicaraan akan peluang yang dapat diambil dari penduduk yang hanya satu kali dimiliki suatu bangsa, maka, perlu dukungan dari berbagai pihak yang terkait lainnya, seperti masalah kependudukan, kesehatan, pendidikan, tenaga kerja bahkan agama. Oleh karena itu perlu adanya gerakan bersama untuk mensosialisasikan, menemukan strategi dan memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia untuk meraih peluang bonus demografi ini.

Kata Kunci : Kebijakan,  Kependudukan, Bonus Demografi. Peluang





A.    Kebijakan Pembangunan Kependudukan
Penduduk Indonesia sebagian besar hidup di daerah pedesaan yang masih memiliki rasa kekeluargaan antar sesama, dengan empat ciri-ciri umum yaitu : jumlah penduduk yang semakin bertambah, sebagian besar penduduk berusia muda, persebaran penduduk tidak merata, sebagain besar penduduk berkerja di sektor pertanian. Pertumbuhan penduduk dipengaruhi tiga faktor yaitu semakin meningkatnya kualitas kesehatan penduduk yang terlihat dengan ditandai berkurangnya angka kematian bayi, pertumbuhana ekonomi yang mendorong perbaikan gizi masyarakat,kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya jumlah pengendalian kelahiran.
Kebijakan kependudukan di Indonesia merupakan salah satu bentuk upaya pemerintah yang tujuannya untuk mengatur pengendalian jumlah pertumbuhan penduduk dengan berusaha mempengaruhi tiga variabel utama yaitu kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas) dan perpindahan penduduk (migrasi). Pemerintah telah merapkan beberapa kebijakan kependudukan seperti melaksanakan program keluarga berencana, pembatasan usia perkawinan, memberikan penyuluhan kepada masyarakat. Kebijakan kependudukan bedasarkan sifat biasanya dibagi menjadi dua yaitu kebijakan lansung dan tidak langsung. Kebijakan langsung merupakan bentuk kebijakan yang langsung mempengaruhi tiga variabel utama, kebijakan tidak lansung merupakan kebijakanya yang bersifat perantara. Contohnya memperluas kesempatan mendapatkan pendidikan,serta perluasan peluang kerja yang secara tidak lansung menjadi perantara penghambat bagi usia perkawinan.
Kebijakan Kependudukan adalah kebijakan yang ditujukan untuk mempengaruhi besar, komposisi, distribusi dan tingkat perkembangan penduduk. Alasan yang rasional mengapa diperlukan kebijakan kependudukan. Pertama, salah satu fungsi pemerintah adalah menciptakan kesejahteraan masyarakat (tujuan paling mendasar dari setiap kebijaka pembangunan). Kedua, perilaku demografi (demografi behavior) terdiri dari sejumlah tindakan individu. Ketiga, tindakan tersebut merupakan usaha untuk memaksimalkan utilitas atau kesejahteraan individu. Keempat, kesejahteraan masyarakat tidak selalu merupakan penjumlahan dari kesejahteraan individu. Kelima, oleh karena itu pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk berusaha mengubah situasi dan kondisi sehingga mempengaruhi persepsi tentang kesejahteraan individu dan pada akhirnya kesejahteraan masyarakat sama dengan penjumlahan dari kesejahteraan individu.
Peran Pemerintah dalam kebijakan kependudukan pada semua tahapan kebijakan mulai pembuatan kebijakan , pelaksanaan kebijakan, penilaian kebijakan. Kuatnya peran negara dalam masalah kependudukan menyebabkan terproyeksinya masalah kependudukan hanya sebagai tanggung jawab monopoli pemerintah saja. Tetapi ketika terjadi banyak perubahan sebagai dampak globalisasi seperti penerapan otonomi daerah menyebabkan lembaga-lembaga diluar pemerintah seperti DPR, DPRD, LSM, Partai Politik memiliki peran yang semakin besar. Ini berarti peran dan orientasi pemerintah yang mendominasi arah dan proses kebijakan kependudukan akan menjadi berubah. Oleh karena itu , perlu pengkajian ulang terhadap kebijakan Pembangunan kependudukan untuk mengubahnya kearah yang lebih responsif dengan kondisi riil di lapangan dan kondisis masa depan.
Perubahan kebijakan kependudukan seiring dengan perubahan indikator –indikator kependudukan. Pada tahun1971-1080 diperkirakan terjadi peningkatan penduduk sebesar 2,32% pertahun sedangkan tahun1995-2000 BPS memperkirakan terjadi pertumbuhan sebesar 1,50% pertahun. Penurunan ini terjadi karena fertilitas mengalami penurunan menjadi sebesar 2,78% dari sebelumnya sebesar 5,20%. Angka kematian bayi juga mengalami penurunan dari 145(1971) menjadi 51(1997). Perubahan tersebut menjadi kabar baik untuk menjadi dasar dalam menyusun kebijakan baru. Namun hal itu belum cukup sebab masih banyak indikator-ondikator kependudukan lainnnya yang berindikasi negatif. Perubahan kebijakan kependudukan seharusnya dilakukan secara total dan mendasar. karena masalah kependudukan dan lingkup kebijakan yang terjadi di masa depan akan mengalami perubahan yang bersifat visioner. Misalnya kebijakan keluarga berencana sebagai bentuk pengendalian fertilitas  sudah dipertanyakan keefektifannya  pada masa sekarang dan masa depan. Seberapa besar skala keterlibatan dan aspirasi pemerintah propinsi, kabupaten/kota dapat ikut mewarnai perumusan dan pelaksanaan kebijakan kependudukan.    
Permasalahan mobilisasi(perpindahan) juga mengalami hal yang sama, artinya  perubahan yang mendasar juga diperlukan dalam hal ini, sementara itu penulis kurang yakin bahwa pemerintah mampu mengatasi semua masalah kependudukan yang terjadi masa yang akan datang. Walaupun begitu, perubahan kebijakan kependudukan harus dilakukan dengan memahami mengenai isu-isu dan masalah kependudukan yang terkait. Beberapa isu yang harus diperhatikan pemerintah sebelum membuat kebijakan kependudukan diantaranya sebagai berikut:
1.  Visi, misi dan arah pembangunan kependudukan harus jelas. Pemerintah merubah orientasi  kebijakan kependudukan kuantitas menjadi orientasi kualitas baik dalam proses implementasi program maupun hasil yang diharapkan. Dalam perubahan kebijakan ini perlu menempatkan hak asasi manusia sebagai titik penting dan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kebijakan kependudukan. Kebijakan penurunan mortalitas erat kaitannya dengan hak asasi manusia, hak mobilitas dan hak memiliki kehidupan layak. Oleh sebab itu , untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional, dalam menangani permasalahan penduduk, pemerintah tidak saja mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk tapi juga menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusianya.
2.  Masyarakat (penduduk) sebagai target group sering tidak mengetahu arah dan tujuan dari program yang dilaksanakan pemerintah, terutama yang berkaitan dengan hak memperoleh informasi kebijakan, program dan hasil. Informasi kebijakan kependudukan biasanya hanya berada dalam lingkup pemerintah, akademisi dan LSM. Pada era demokrasi dan informasi ini sudah seharusnya masyarakat juga mengetahui berbagai informasi kependudukan terlebih lagi mengenai informasi kebijakan yang mengenai diri mereka sebagai target group.
3.  Masalah kelembagaan dalam penyususnan dan pelaksanaan kebijakan kependudukan sering terjadi perubahan menyebabkan kebingungan pada lembaga-lembaga pemerintah di daerah.
4.  Keserasian kebijakan dan program harus dialksanakan baik dipemerintah pusat maupun pemerintah daerah, terutama kesiapan sumber daya di daerah dan kemampuan birokrasi di daerah untuk mengambil alih tugas dan wewenang yang selama ini belum menjadi tanggungjawab pusat.
5.  Beberapa isu lama yang bersifat multidimensi dalam lingkup kebijakan kependudukan (masalah perempuan, penduduk usia lanjut dan penduduk miskin) masih berkelanjutan.
Oleh karena keterbatasan penulis, sebenarnya masih banyak permasalahan kependudukan yang ada, tetapi tulisan dapat menjadi wacana dan bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan kependudukan.
B.     Bonus Demografi
          Bonus demografi adalah peluang (window of opportunity) yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif (rentang usia 15-64 tahun) dalam evolusi kependudukan yang dialaminya. Di Indonesia fenomena ini terjadi karena proses transisi demografi yang berkembang sejak beberapa tahun lalu dipercepat oleh keberhasilan kebijakan kependudukan menurunkan tingkat fertilitas, meningkatkan kualitas kesehatan dan suksesnya program-program pembangunan sejak era Orde Baru hingga sekarang. Keberhasilan program (KB) selama berpuluh tahun sebelumnya telah mampu menggeser penduduk berusia di bawah 15 tahun (anak-anak dan remaja) yang awalnya besar di bagian bawah piramida penduduk Indonesia ke penduduk berusia lebih tua (produktif 15-64 tahun). Struktur piramida yang menggembung di tengah semacam ini menguntungkan, karena dengan demikian beban ketergantungan atau dukungan ekonomi yang harus diberikan oleh penduduk usia produktif kepada penduduk usia anak-anak (di bawah 15 tahun) dan tua (di atas 64 tahun) menjadi lebih ringan.
           Kemudian muncul parameter yang disebut rasio ketergantungan (dependency ratio), yaitu rasio yang menunjukkan perbandingan antara kelompok usia produktif dan non produktif. Rasio ini sekaligus menggambarkan berapa banyak orang usia non produktif yang hidupnya harus ditanggung oleh kelompok usia produktif. Semakin rendah angka rasio ketergantungan suatu negara, maka negara tersebut makin berpeluang mendapatkan bonus demografi. Menurut guru besar demografi Universitas Indonesia (Prof. Dr Sri Moertiningsih Adioetomo), Indonesia sudah mendapat bonus demografi mulai 2010 dan akan mencapai puncaknya sekitar tahun 2020 hingga tahun 2030. Berdasarkan data BPS hasil sensus penduduk tahun 2010 angka rasio ketergantungan kita adalah 51,3% (lihat grafik). Bonus demografi tertinggi biasanya didapatkan angka ketergantungan berada di rentang antara 40-50%, yang berarti bahwa 100 orang usia produktif menanggung 40-50 orang usia tidak produktif.
                       
           (Sumber : Yuswoady)
           Kalau dipilah ke dalam kelompok desa dan kota, maka angka ketergantungan di perkotaan sudah mencapai angka 46,6%, artinya sudah masuk dalam rentang masa keemasan bonus demografi. Sementara untuk pedesaan masih bertengger di angka 56,3%. Yang juga menarik dari data tersebut adalah bahwa sekitar 34% dari masyarakat kita berada di rentang usia muda (15-35 tahun) yang sangat produktif. Kaum muda harapan bangsa inilah yang akan menjadi engine of growth yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih kencang lagi. Oleh karena itu kesempatan seabad sekali ini harus dapat  dimanfaatkan sebaik mungkin dengan meningkatkan kualitas SDM melalui berbagai kebijakan pembangunan kependudukan.
C.    Implementasi Kebijakan Kependudukan dengan momentum Bonus Demografi
           Melaksanakan misi pembangunan nasional yaitu mewujudkan bangsa yang memiliki daya saing mempunyai  tiga sasaran pokok yaitu  meningkatkan : Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Pembangunan Gender ( IPG ) dan Penduduk Tumbuh Seimbang.(PTS ). Sasaran ini menunjukkan bahwa fokus pembangunan penduduk adalah dari sisi kualitas dan kuantitas, dan  institusi yang paling dekat yang selama ini telah bergerak pada fungsi itu adalah BKKBN. Tugas penyerasian dan harmonisasi kebijakan tentunya berfungsi mengkoordinasikan sektor-sektor yang memikliki fungsi untuk mencapai sasaran seperti pengendalian jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, sektor pendidikan,sektor kesehatan, pemberdayaan perempuan dan anak serta pemuda. Kebijakan Pembangunan Kependudukan diletakkan dalam konteks pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mencakup pembangunan manusia sebagai subyek dan obyek, yaitu pembangunan yang mencakup seluruh siklus kehidupan manusia (life cycle approach). Secara garis besar Kebijakan Pembangunan Kependudukan meliputi  lima aspek penting, yaitu :
          1. Berkaitan dengan kuantitas penduduk (jumlah, struktur dan komposisi, laju pertumbuhan, pesebaran)
          2. Berkaitan dengan kualitas penduduk (status kesehatan dan angka kematian, tingkat pendidikan, angka kemiskinan).
          3. Berkaitan dengan mobilitas penduduk (tingkat migrasi yang mempengaruhi persebaran penduduk antar wilayah, antar pulau, antar perkotaan dan perdesaan).
          4. Keempat adalah data dan informasi penduduk.
          5.  Kelima adalah penyerasian kebijakan kependudukan.
          Keberhasilan pembangunan kependudukan dalam rangka menurunkan angka fertilitas dan peningkatan usia harapan hidup selama ini telah menghasilkan transisi demografi yang ditandai dengan menurunnya angka kelahiran dan kematian serta peningkatan angka harapan hidup. Hal tersebut telah mengubah struktur umur penduduk, yakni menurunnya proporsi penduduk usia di bawah 15 tahun yang diikuti dengan meningkatnya proporsi penduduk usia produktif (15-64 tahun) dan meningkatnya proporsi penduduk usia tua (65 tahun ke atas) secara perlahan. Kondisi tersebut menyebabkan angka ketergantungan menurun yang disebut dengan bonus demografi (Window of Opportunity) yang menjadi landasan untuk memicu pertumbuhan ekonomi. Bonus demografi (jendela peluang) tersebut diperkirakan akan terjadi hanya sekali saja dalam sejarah dan waktunya sangat pendek, yaitu sekitar 5 tahun dari tahun 2020-2025 (Proyeksi Penduduk berdasarkan SUPAS,2005), dengan syarat angka kelahiran dapat dikendalikan.
D.    Indikator Kependudukan (Antara Harapan dengan Kenyataan)
Indikator kependudukan berasarkan Komponen Demograsfi meliputi (jumlah, distribusi, komposisi, kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas), perpindahan ) migrasi).Sedangkan Komponen Non-Demografi meliputi (kesejahteraan, ketenagakerjaan).
           Harapan salah satu dari 11 Prioritas Nasional Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-2014) dengan titik berat pembangunan kependudukan bidang kesehatan melalui pendekatan preventif yaitu peningkatan kesehatan masyarakat dan lingkungan (perluasan penyediaan air bersih, pengurangan wilayah kumuh) secara keseluruhan dapat meningkatkan angka harapan hidup dari 70,6 tahun pada 2009 menjadi 72,0 tahun pada 2014 dan pencapaian keseluruhan sasaran Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015
Pelaksanaan Program Kesehatan Preventif Terpadu (pemberian imunisasi dasar kepada 90% balita pada 2014; Penyediaan akses sumber air bersih yang menjangkau 67% penduduk dan akses terhadap sanitasi dasar berkualitas yang menjangkau 75% penduduk sebelum 2014; Penurunan tingkat kematian ibu saat melahirkan dari 307 per 100.000 kelahiran pada 2008 menjadi 118 pada 2014, serta tingkat kematian bayi dari 34 per 1.000 kelahiran pada 2008 menjadi 24 pada 2014)
Sasaran RPJP Tahun 2005-2025 :
a.    Meningkatnya Umur Harapan Hidup (UHH) dari 69 thn pada 2005 menjadi 73,7 thn pada 2025
b.   Menurunnya Angka Kematian Bayi (AKB) dari 32,3 per 1.000 KH thn 2005 menjadi 15,5 per 1.000 KH thn 2025
c.    Menurunnya Angka Kematian Ibu dari 262 per 100.000 KH thn 2005  menjadi 74 per 100.000 KH thn 2025
d.   Menurunnya prevalensi gizi kurang pada balita dari 26% thn 2005 menjadi 9,5% thn 2025
          Sasaran RPJMN Tahun 2010-2014 :
1. UHH menjadi 72,0 tahun pd thn 2014
2. AKB menjadi 22/24/26 per 1.000 KH pd thn 2014
3. AKI menjadi 117,7 per 100rb KH pd thn 2014
4. Kurang gizi pd balita menjadi 15% pd th 2014
         
          TANTANGAN KABINET KERJA JOKOWI :
1.      Gap yang besar atara situasi sekarang dengan target 2015
2.      Demografi:  komitment terhadap Program KB  
3.      Krisis multidimensi berkepanjangan: kemiskinan dan kemelaratan absolut
4.      Degradasi lingkungan ; global warming, , air bersih, bencana
5.      Desentralisasi fiskal (kesehatan)
6.      Leadership, Komitmen, Governance : Pusat dan Daerah, Partai Politik dan Stakeholder

                              Terima Kasih, semoga bermanfaat.
                                             













                                                       
                                                           BAHAN  BACAAN
      Biro Pusat Statistik, (1997), Estimasi Fertilitas, Mortalitas dan Migrasi. Hasil Survei PendudukAntar Sensus (SUPAS) 1995, Seri: S3, Biro Pusat Statistik, Jakarta,
      Davis, Kingsley & Judith Blake, (1974), Struktur Sosial dan Fertilitas, Lembaga Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
                            Faturochman, (2001), Reorientasi Kebijakan Kependudukan, Adytya Media, Yogyakarta
         Freedman, Ronald, (1983), Teori-teori Penurunan Fertilitas: Suatu Tinjauan, Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1983
    Hatmadji, Sri Harijati (1981) “Fertilitas” dalam Dasar-Dasar Demografi, Lembaga             Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta,
    Hull, Terence H. & Valerie J. Hull, (1976) Hubungan Antara Status Ekonomi dan Fertilitas, Lembaga Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
        Robinson, Warren C. & Sarah F. Harbison, (1993) Menuju Teori Fertilitas Terpadu, Pusat  Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
        Singarimbun, Masri, (1978) Kependudukan. Liku-liku Penurunan Kelahiran, LP3ES dan Lembaga Kependudukan UGM, Yogyakarta,
B

Tidak ada komentar:

Posting Komentar