KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
DAN BONUS DEMOGRAFI
Munawar Noor
ABSTRAK
Asumsi dasar untuk memahami bonus
demografi adalah kondisi komposisi penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih
besar dibandingkan dengan penduduk usia non produktif (dibawah 15 dan di atas
65 tahun) dalam rentangan waktu tertentu. Idealnya, masyarakat dapat mengetahui
apa bonus demografi tersebut, yaitu dengan memahami posisi mereka dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, begitupun dengan pemangku kebijakan
dengan menyadari pentingnya mengeluarkan kebijakan-kebijkan yang dapat men-support
agar potensi-potensi yang dimiliki oleh penduduk-penduduk usia produktif
tersebut optimal dan maksimal. Harapannya adalah munculnya kesadaran akan peran
strategis penduduk usia produktif, terutama kaum muda sebagai ‘motor penggerak’
bangsa. Pada dasarnya ada syarat untuk dapat memanfaatkan peluang bonus
demografi yaitu , terwujudnya penduduk berkualitas dengan tersedianya
pendidikan yang baik, kemudian tersedianya layanan kesehatan yang baik,
memiliki etos kerja, dan kebijakan yang menopang usia produktif agar berdaya guna.
Logika berfikirnya adalah, bagaimana
akan terciptanya penduduk berkualitas, sementara masih banyaknya masyarakat
yang tidak dapat mengenyam pendidikan secara merata pada tingkat jenjang yang
tinggi sebagai syarat untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang baik. Jika ada
penyediaan fasilitas seperti sekolah-sekolah, apakah sudah sebahagian besar
dari rakyat Indonesia mampu untuk mengukutinya terutama secara finansial karena
masih mahalnya biaya sekolah atau peluang yang diberikan,termasuk akses dan
fasilitas yang memadai, terutama pada daerah-daerah terpencil atau perbatasan.
Dengan demikian, ketika bonus
demografi adalah pembicaraan akan peluang yang dapat diambil dari penduduk yang
hanya satu kali dimiliki suatu bangsa, maka, perlu dukungan dari berbagai pihak
yang terkait lainnya, seperti masalah kependudukan, kesehatan, pendidikan,
tenaga kerja bahkan agama. Oleh karena itu perlu adanya gerakan bersama untuk
mensosialisasikan, menemukan strategi dan memaksimalkan potensi yang dimiliki
oleh bangsa Indonesia untuk meraih peluang bonus demografi ini.
Kata Kunci : Kebijakan, Kependudukan, Bonus Demografi. Peluang
A. Kebijakan Pembangunan Kependudukan
Penduduk Indonesia sebagian besar hidup di daerah pedesaan yang masih
memiliki rasa kekeluargaan antar sesama, dengan empat ciri-ciri umum yaitu : jumlah penduduk yang semakin
bertambah, sebagian besar penduduk berusia muda,
persebaran penduduk tidak merata, sebagain besar penduduk berkerja di
sektor pertanian. Pertumbuhan
penduduk dipengaruhi tiga faktor yaitu semakin meningkatnya kualitas kesehatan
penduduk yang terlihat dengan ditandai berkurangnya angka kematian bayi,
pertumbuhana ekonomi yang mendorong perbaikan gizi masyarakat,kurangnya
kesadaran masyarakat akan pentingnya jumlah pengendalian kelahiran.
Kebijakan
kependudukan di Indonesia merupakan
salah satu bentuk upaya pemerintah yang tujuannya
untuk mengatur pengendalian jumlah pertumbuhan penduduk dengan berusaha mempengaruhi
tiga variabel utama yaitu
kelahiran
(fertilitas), kematian (mortalitas) dan perpindahan penduduk (migrasi). Pemerintah
telah merapkan beberapa kebijakan kependudukan seperti melaksanakan program
keluarga berencana, pembatasan usia perkawinan, memberikan penyuluhan kepada
masyarakat. Kebijakan kependudukan bedasarkan sifat biasanya dibagi menjadi dua
yaitu kebijakan lansung dan tidak langsung. Kebijakan langsung merupakan bentuk
kebijakan yang langsung mempengaruhi tiga variabel utama, kebijakan tidak
lansung merupakan kebijakanya yang bersifat perantara. Contohnya memperluas
kesempatan mendapatkan pendidikan,serta perluasan peluang kerja yang secara tidak lansung menjadi perantara penghambat
bagi usia perkawinan.
Kebijakan Kependudukan adalah
kebijakan yang ditujukan untuk mempengaruhi besar, komposisi, distribusi dan
tingkat perkembangan penduduk. Alasan yang rasional mengapa diperlukan kebijakan
kependudukan. Pertama, salah satu fungsi pemerintah adalah menciptakan
kesejahteraan masyarakat (tujuan paling mendasar dari setiap kebijaka
pembangunan). Kedua, perilaku demografi (demografi
behavior) terdiri dari sejumlah tindakan individu. Ketiga, tindakan
tersebut merupakan usaha untuk memaksimalkan utilitas atau kesejahteraan
individu. Keempat, kesejahteraan masyarakat tidak selalu merupakan penjumlahan
dari kesejahteraan individu. Kelima, oleh karena itu pemerintah mempunyai
tanggung jawab untuk berusaha mengubah situasi dan kondisi sehingga
mempengaruhi persepsi tentang kesejahteraan individu dan pada akhirnya
kesejahteraan masyarakat sama dengan penjumlahan dari kesejahteraan individu.
Peran Pemerintah dalam kebijakan kependudukan pada semua
tahapan kebijakan mulai
pembuatan
kebijakan , pelaksanaan kebijakan, penilaian kebijakan. Kuatnya peran negara dalam masalah
kependudukan menyebabkan terproyeksinya masalah kependudukan hanya sebagai
tanggung jawab monopoli pemerintah saja. Tetapi ketika terjadi banyak perubahan
sebagai dampak globalisasi seperti penerapan otonomi daerah menyebabkan
lembaga-lembaga diluar pemerintah seperti DPR, DPRD,
LSM, Partai Politik memiliki
peran yang semakin besar.
Ini berarti peran dan orientasi pemerintah yang mendominasi arah dan proses
kebijakan kependudukan akan menjadi berubah. Oleh karena itu , perlu pengkajian ulang terhadap
kebijakan Pembangunan
kependudukan
untuk mengubahnya kearah yang lebih responsif dengan kondisi riil di lapangan
dan kondisis masa depan.
Perubahan
kebijakan kependudukan seiring dengan perubahan indikator –indikator
kependudukan. Pada tahun1971-1080 diperkirakan terjadi peningkatan penduduk
sebesar 2,32% pertahun sedangkan tahun1995-2000 BPS memperkirakan terjadi
pertumbuhan sebesar 1,50% pertahun. Penurunan ini terjadi karena fertilitas
mengalami penurunan menjadi sebesar 2,78% dari sebelumnya sebesar 5,20%. Angka
kematian bayi juga mengalami penurunan dari 145(1971) menjadi 51(1997).
Perubahan tersebut menjadi kabar baik untuk menjadi dasar dalam menyusun
kebijakan baru. Namun hal itu belum cukup sebab masih banyak
indikator-ondikator kependudukan lainnnya yang berindikasi negatif. Perubahan
kebijakan
kependudukan seharusnya dilakukan secara total dan mendasar. karena masalah kependudukan
dan lingkup kebijakan yang terjadi di masa depan akan mengalami perubahan yang
bersifat visioner. Misalnya kebijakan keluarga berencana sebagai bentuk
pengendalian fertilitas sudah
dipertanyakan keefektifannya pada masa sekarang
dan masa depan. Seberapa besar
skala keterlibatan dan aspirasi pemerintah propinsi, kabupaten/kota dapat ikut mewarnai
perumusan dan pelaksanaan kebijakan kependudukan.
Permasalahan
mobilisasi(perpindahan) juga mengalami hal yang sama, artinya perubahan yang mendasar juga diperlukan dalam hal ini, sementara itu penulis kurang yakin
bahwa
pemerintah mampu mengatasi semua
masalah kependudukan yang terjadi
masa yang akan datang.
Walaupun begitu, perubahan
kebijakan kependudukan harus
dilakukan dengan memahami mengenai isu-isu dan masalah kependudukan yang
terkait. Beberapa isu yang harus diperhatikan pemerintah sebelum membuat
kebijakan kependudukan diantaranya sebagai berikut:
1. Visi, misi dan arah pembangunan kependudukan
harus jelas. Pemerintah
merubah orientasi kebijakan kependudukan
kuantitas menjadi
orientasi kualitas baik dalam proses implementasi program maupun hasil yang
diharapkan. Dalam perubahan kebijakan ini perlu menempatkan hak asasi manusia
sebagai titik penting dan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kebijakan
kependudukan. Kebijakan penurunan mortalitas erat kaitannya dengan hak asasi
manusia, hak mobilitas dan hak memiliki
kehidupan layak. Oleh sebab itu , untuk menunjang keberhasilan pembangunan
nasional, dalam menangani permasalahan penduduk, pemerintah tidak saja
mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk tapi juga menitikberatkan
pada peningkatan kualitas sumber daya manusianya.
2. Masyarakat (penduduk) sebagai target group sering tidak
mengetahu arah dan tujuan dari program yang dilaksanakan pemerintah, terutama yang berkaitan
dengan hak memperoleh informasi kebijakan, program dan hasil. Informasi
kebijakan kependudukan
biasanya hanya berada dalam lingkup pemerintah, akademisi dan LSM. Pada era
demokrasi dan informasi ini sudah seharusnya masyarakat juga mengetahui
berbagai informasi kependudukan terlebih lagi mengenai informasi kebijakan yang
mengenai diri mereka sebagai target group.
3. Masalah kelembagaan dalam penyususnan dan
pelaksanaan kebijakan kependudukan sering terjadi perubahan menyebabkan kebingungan pada
lembaga-lembaga pemerintah di daerah.
4. Keserasian kebijakan dan program harus
dialksanakan baik dipemerintah pusat maupun pemerintah daerah, terutama kesiapan sumber
daya di daerah dan
kemampuan
birokrasi di daerah untuk mengambil alih tugas dan wewenang yang selama ini
belum menjadi tanggungjawab pusat.
5. Beberapa isu lama yang bersifat multidimensi dalam lingkup kebijakan kependudukan (masalah
perempuan, penduduk usia lanjut dan penduduk miskin) masih berkelanjutan.
Oleh
karena keterbatasan penulis, sebenarnya masih banyak permasalahan kependudukan
yang ada, tetapi tulisan dapat menjadi
wacana dan bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan kependudukan.
B. Bonus
Demografi
Bonus demografi adalah peluang (window
of opportunity) yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari
besarnya proporsi penduduk produktif
(rentang usia 15-64 tahun) dalam
evolusi kependudukan yang dialaminya. Di Indonesia fenomena ini terjadi karena
proses transisi demografi yang berkembang sejak beberapa tahun lalu dipercepat
oleh keberhasilan kebijakan kependudukan menurunkan tingkat fertilitas,
meningkatkan kualitas kesehatan dan suksesnya program-program pembangunan sejak
era Orde Baru hingga sekarang. Keberhasilan program (KB) selama berpuluh tahun
sebelumnya telah mampu menggeser penduduk berusia di bawah 15 tahun (anak-anak dan remaja) yang awalnya besar di bagian
bawah piramida penduduk Indonesia ke penduduk berusia lebih tua (produktif
15-64 tahun). Struktur piramida yang menggembung
di tengah semacam ini menguntungkan, karena dengan demikian beban
ketergantungan atau dukungan ekonomi yang harus diberikan oleh penduduk usia
produktif kepada penduduk usia anak-anak (di bawah 15 tahun) dan tua (di atas 64 tahun) menjadi lebih ringan.
Kemudian muncul parameter yang
disebut rasio ketergantungan (dependency ratio), yaitu rasio
yang menunjukkan perbandingan antara kelompok usia produktif dan non produktif.
Rasio ini sekaligus menggambarkan berapa banyak orang usia non produktif yang
hidupnya harus ditanggung oleh kelompok usia produktif. Semakin rendah angka
rasio ketergantungan suatu negara, maka negara tersebut makin berpeluang
mendapatkan bonus demografi. Menurut guru besar demografi Universitas Indonesia
(Prof. Dr Sri Moertiningsih Adioetomo),
Indonesia sudah mendapat bonus demografi mulai 2010 dan akan mencapai puncaknya
sekitar tahun 2020 hingga tahun 2030.
Berdasarkan data BPS hasil sensus penduduk tahun 2010 angka rasio
ketergantungan kita adalah 51,3%
(lihat grafik). Bonus demografi tertinggi biasanya didapatkan angka
ketergantungan berada di rentang antara 40-50%, yang berarti bahwa 100 orang usia produktif menanggung
40-50 orang usia tidak produktif.
(Sumber : Yuswoady)
Kalau dipilah ke dalam kelompok desa
dan kota, maka angka ketergantungan di perkotaan
sudah mencapai angka 46,6%,
artinya sudah masuk dalam rentang masa
keemasan bonus demografi. Sementara untuk pedesaan masih bertengger di angka 56,3%. Yang juga menarik dari data tersebut adalah bahwa sekitar 34% dari masyarakat kita berada di rentang usia muda (15-35 tahun) yang
sangat produktif. Kaum muda harapan bangsa inilah yang akan menjadi engine of
growth yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih kencang lagi.
Oleh karena itu kesempatan seabad
sekali ini harus dapat dimanfaatkan
sebaik mungkin dengan meningkatkan kualitas SDM melalui berbagai kebijakan
pembangunan kependudukan.
C.
Implementasi Kebijakan Kependudukan dengan momentum
Bonus Demografi
Melaksanakan misi pembangunan nasional yaitu
mewujudkan bangsa yang memiliki daya saing mempunyai tiga sasaran pokok yaitu meningkatkan : Indeks Pembangunan Manusia
(IPM), Indeks Pembangunan Gender ( IPG ) dan Penduduk Tumbuh Seimbang.(PTS ).
Sasaran ini menunjukkan bahwa fokus pembangunan penduduk adalah dari sisi
kualitas dan kuantitas, dan institusi
yang paling dekat yang selama ini telah bergerak pada fungsi itu adalah BKKBN. Tugas
penyerasian dan harmonisasi kebijakan tentunya berfungsi mengkoordinasikan
sektor-sektor yang memikliki fungsi untuk mencapai sasaran seperti pengendalian
jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, sektor pendidikan,sektor kesehatan,
pemberdayaan perempuan dan anak serta pemuda. Kebijakan Pembangunan
Kependudukan diletakkan dalam konteks pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM)
yang mencakup pembangunan manusia sebagai subyek dan obyek, yaitu pembangunan
yang mencakup seluruh siklus kehidupan manusia (life cycle approach). Secara garis besar Kebijakan Pembangunan
Kependudukan meliputi lima aspek
penting, yaitu :
1. Berkaitan dengan kuantitas
penduduk (jumlah, struktur dan komposisi, laju pertumbuhan, pesebaran)
2. Berkaitan dengan kualitas penduduk
(status kesehatan dan angka kematian, tingkat pendidikan, angka kemiskinan).
3. Berkaitan dengan mobilitas
penduduk (tingkat migrasi yang mempengaruhi persebaran penduduk antar wilayah,
antar pulau, antar perkotaan dan perdesaan).
4. Keempat adalah data dan informasi
penduduk.
5.
Kelima adalah penyerasian kebijakan kependudukan.
Keberhasilan pembangunan kependudukan
dalam rangka menurunkan angka fertilitas dan peningkatan usia harapan hidup
selama ini telah menghasilkan transisi demografi yang ditandai dengan menurunnya
angka kelahiran dan kematian serta peningkatan angka harapan hidup. Hal
tersebut telah mengubah struktur umur penduduk, yakni menurunnya proporsi
penduduk usia di bawah 15 tahun yang diikuti dengan meningkatnya proporsi
penduduk usia produktif (15-64 tahun) dan meningkatnya proporsi penduduk usia
tua (65 tahun ke atas) secara perlahan. Kondisi tersebut menyebabkan angka
ketergantungan menurun yang disebut dengan bonus demografi (Window of Opportunity) yang menjadi landasan untuk memicu
pertumbuhan ekonomi. Bonus demografi (jendela peluang) tersebut diperkirakan
akan terjadi hanya sekali saja dalam sejarah dan waktunya sangat pendek, yaitu
sekitar 5 tahun dari tahun 2020-2025 (Proyeksi Penduduk berdasarkan SUPAS,2005),
dengan syarat angka kelahiran dapat dikendalikan.
D. Indikator
Kependudukan (Antara Harapan
dengan Kenyataan)
Indikator kependudukan berasarkan Komponen Demograsfi
meliputi (jumlah, distribusi, komposisi, kelahiran (fertilitas), kematian
(mortalitas), perpindahan ) migrasi).Sedangkan Komponen Non-Demografi meliputi
(kesejahteraan, ketenagakerjaan).
Harapan salah satu dari 11 Prioritas
Nasional Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-2014) dengan titik berat pembangunan
kependudukan bidang kesehatan melalui pendekatan preventif yaitu peningkatan
kesehatan masyarakat dan lingkungan (perluasan penyediaan air bersih,
pengurangan wilayah kumuh) secara keseluruhan dapat meningkatkan angka harapan
hidup dari 70,6 tahun pada 2009 menjadi 72,0 tahun pada 2014 dan pencapaian
keseluruhan sasaran Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015
Pelaksanaan Program Kesehatan
Preventif Terpadu (pemberian imunisasi dasar kepada 90% balita pada 2014;
Penyediaan akses sumber air bersih yang menjangkau 67% penduduk dan akses
terhadap sanitasi dasar berkualitas yang menjangkau 75% penduduk sebelum 2014;
Penurunan tingkat kematian ibu saat melahirkan dari 307 per 100.000 kelahiran
pada 2008 menjadi 118 pada 2014, serta tingkat kematian bayi dari 34 per 1.000
kelahiran pada 2008 menjadi 24 pada 2014)
Sasaran RPJP
Tahun 2005-2025 :
a.
Meningkatnya
Umur Harapan Hidup (UHH) dari 69 thn pada 2005 menjadi 73,7 thn pada 2025
b. Menurunnya Angka Kematian Bayi (AKB) dari 32,3 per 1.000 KH thn 2005
menjadi 15,5 per 1.000 KH thn 2025
c. Menurunnya Angka Kematian Ibu dari 262 per 100.000 KH thn 2005 menjadi 74 per 100.000 KH thn 2025
d.
Menurunnya prevalensi gizi kurang pada balita dari 26% thn 2005 menjadi
9,5% thn 2025
Sasaran RPJMN Tahun 2010-2014 :
1. UHH menjadi 72,0 tahun pd thn 2014
2. AKB
menjadi 22/24/26 per 1.000 KH pd thn 2014
3. AKI menjadi 117,7 per 100rb KH pd thn 2014
4. Kurang gizi pd balita menjadi 15% pd th
2014
TANTANGAN
KABINET KERJA JOKOWI :
1. Gap yang
besar atara situasi sekarang dengan target 2015
2. Demografi:
komitment terhadap Program KB
3. Krisis
multidimensi berkepanjangan: kemiskinan dan kemelaratan absolut
4. Degradasi
lingkungan ; global warming, , air bersih, bencana
5. Desentralisasi
fiskal (kesehatan)
6. Leadership,
Komitmen, Governance : Pusat dan Daerah, Partai Politik dan Stakeholder
Terima
Kasih, semoga bermanfaat.
BAHAN BACAAN
Biro Pusat Statistik, (1997), Estimasi
Fertilitas, Mortalitas dan Migrasi. Hasil Survei PendudukAntar Sensus (SUPAS)
1995, Seri: S3, Biro Pusat Statistik, Jakarta,
Davis, Kingsley & Judith Blake, (1974),
Struktur Sosial dan Fertilitas, Lembaga Kependudukan Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta,
Faturochman,
(2001), Reorientasi Kebijakan
Kependudukan, Adytya Media, Yogyakarta
Freedman, Ronald, (1983), Teori-teori
Penurunan Fertilitas: Suatu Tinjauan, Pusat Penelitian dan Studi
Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1983
Hatmadji, Sri Harijati (1981) “Fertilitas”
dalam Dasar-Dasar Demografi, Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, Jakarta,
Hull,
Terence H. & Valerie J. Hull, (1976) Hubungan Antara Status Ekonomi dan
Fertilitas, Lembaga Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
Robinson, Warren C. & Sarah F.
Harbison, (1993) Menuju Teori Fertilitas Terpadu, Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta,
Singarimbun, Masri, (1978) Kependudukan.
Liku-liku Penurunan Kelahiran, LP3ES dan Lembaga Kependudukan UGM,
Yogyakarta,
B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar