Senin, 29 Juni 2015

Dinamika Politik Indonesia



                                         DINAMIKA POLITIK INDONESIA *)
                                                           Munawar Noor **)

PENDAHULUAN
Diawali runtuhnya rezim Orde Baru (1998), kata reformasi menjadi primadona yang setiap hari muncul sebagai wacana publik, sehingga mulai dari diskusi di ruang seminar sampai obrolan di kaki lima, di warung kopi, kata reformasi selalu tampil sebagai topik utama pembicaraan. Reformasi tidak saja menjadi kata yang sangat bermakna (fatwa) pada satu sisi, namun juga menjadi jargon yang sangat laris di sisi lain. Tema reformasi politik menghiasi warna-warni partisipasi masyarakat, tetapi juga ekspresi penataan-penataan politik dan kelembagaan di tingkat negara. Tentunya harapan besar orde reformasi tidak mengalami kemerosotan makna karena terlalu sering diucapkan bahkan menjadi jargon menjadi penting, sebab pada realitasnya reformasi politik di Indonesia masih jauh dari tujuannya. Oleh karena itu, masih sangat dibutuhkan keseriusan dan komitmen tinggi untuk menuntaskan perubahan-perubahan politik untuk mencapai kehidupan bernegara yang lebih baik. Keseriusan dan komitmen tinggi ini akan jadi seperti kehilangan nafas apabila reformasi keburu menjadi basi, klise dan jargonis. Kenyataan yang ada terutama pada tingkat lokal seringkali menunjukkan bahwa proses reformasi politik di Indonesia memiliki banyak rupa dan warna. Apabila di tingkat nasional reformasi dirasakan terlalu banyak berkait dengan persoalan rotasi kekuasaan dan banyak reformulasi regulasi negara, maka reformasi di tingkat lokal terasa seperti pembalikan secara mendasar sebagian besar pola-pola relasi kekuasaan intra negara, negara dan masyarakat, serta intra masyarakat. Repotnya, negara di tingkat lokal seolah bukan saja kalah cepat, tapi juga sering terlihat kalah lihai dibandingkan masyarakat. Dalam banyak hal, kasus reformasi menunjukkan tipikalitas taktik kaum lemah dalam menghadapi kekuasaan otoriter, yakni pemanfaatan ruang pemaknaan di pinggiran pentas-pentas politik, ketika negara di tingkat lokal masih sibuk dalam pembenahan diri yang seolah tak pernah akan usai. Pada tingkat akar rumput, reformasi umumnya dimaknai sebagai pembebasan dari segala simbolisasi kekuasaan negara.
Maka tidak mengherankan apablia ekspresi-ekspresi awal euforia reformasi di tingkat lokal banyak mengambil bentuk perlawanan terhadap kekuasaan, pembangkangan terhadap aturan lalu lintas, pendudukan tambak dan kebun oleh masyarakat dan semacamnya. Hal ini tidak ingin mengatakan bahwa reformasi politik hanya menarik dilihat dari aspek perlawanan masyarakat terhadap simbol-simbol negara semata-mata, tetapi penting untuk dipahami bahwa arus-arus reformasi politik di tingkat lokal berjalan jauh lebih menarik ketimbang apa yang terjadi di tingkat nasional.
*) Disampaikan pada acara : BIMTEK DPRD Kabupaten Demak, Kantor Kesbangpol Dan Linmas, Kabupaten Demak, 24-25 Fabruari 2015
**). Dr. H. Munawar Noor, MS, Dosen Fisip Untag Semarang
DINAMIKA POLITIK INDONESIA
Sejak merdeka, gagasan demokrasi dalam kehidupan politik mendapat tempat yang sangat menonjol dan  para pemimpin bangsa saat itu bersepakat untuk memilih demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang kemudian di tuangkan kedalam UUD 1945.
Secara umum dinamika perjalanan politik Indonesia dapat di bagi kedalam 5 priode.:
1.      Periode Demokrasi Liberal (1945-1959)
Dinamika politik pada priode demokrasi liberal, dapat dilihat berdasarkan aktifitas politik kenegaraan berikut:
a.       Untuk menghindari jabatan rangkap Presiden, dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) tanggal 29/8/45. untuk membantu tugas presiden.
b.      Untuk menghindari kekuasaan Presiden yang terpusat KNIP mendesak presiden segera membentuk MPR,  sebelum MPR terbentuk , anggota KNIP melakukan fungsi dan tugas MPR
c.       KNIP di serahi kekuasan legislative dan ikut menetapkan GBHN,
d.      Untuk mendorong kearah kabinet parlementer, dikeluarkan Maklumat Pemerintah : agar aliran-aliran dalam masyarakat segera membentuk partai politiknya sebelum di langsungkan Pemilu bulan Juni 1955. Maklumat inilah yang menjadi dasar banyak partai atau multipartai
e.       Maklumat Pemerintah 14 November 1945 tentang Susunan Kabinet berdasarkan sisitem parlementer. Sejak saat itu,tanpa mengubah UUD 1945 sistem pemerintahan bergeser dari kabinet presidensial ke kabinet parlementer (liberal-demokratis)
f.       Pergeseran politik kembali mengalami dinamika sejak di berlakukan Konstitusi RIS 1949 yang menerapkan perlementerisme dengan federalisme. Sistem federalism dalam mekanisme hubungan antara pusat dan daerah (Negara bagian) meletakkan pemerintah pemerintah pusat dan pemerintah Negara-Negara bagian dalam susunan yang sederajat. Sehingga untuk parlemen, terdiri dari 2 badan (bikameral) yaitu: senat (mewakili negara bagian) dan Dewan Perwakilan Rakyat.
g.      Pada 17 Agustus 1950, RIS resmi bubar dan negara Indonesia kembali kebentuk Negara kesatuan. Namun sistem politik demokrasi liberal yang diterapkan menunjukkan pola hubungan antara pemerintah dengan parlemen sebagai bureu-nomia, yaitu pemerintahan partai – partai.
2.      Periode Demokrasi Terpimpin ( 1959 – 1966 )
Demokrasi Terpimpin adalah paham demokrasi berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berintikan musyawarah untuk mufakat secaa gotong-royong antara semua kekuatan nasional yang Progresif Revolusioner berporoskan Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme).
Dinamika politik pada periode demokrasi terpimpin dapat dilihat berdasarkan aktivitas politik kenegaraan sebagai berikut.
a.       Dekrit presiden 5 juli 1959 telah mengakhiri sistem politik liberal diganti dengan sistem demokrasi terpimpin  dan berlakunya kembali UUD 1945.
b.      Dekrit presiden lahir karena kegagalan konstituante dalam melaksanakan tugasnya yaitu membuat UUD yang baru.
c.       Situasi politik (demokrasi terpimpin) diwarnai tarik menarik tiga kekuatan politik utama yaitu Soekarno, Angkatan Darat dan PKI. Soekarno memerlukan PKI untuk menghadapi Angkatan Darat yang berubah menjadi kekuatan politik yang menyaingi kekuasaan Soekarno, PKI memerlukan Soekarno untuk mendapatkan perlindungan dari Presiden dalam melawan Angkatan Darat, sedangkan Angkatan Darat membutuhkan Soekarno untuk mendapatkan legitimasi keterlibatannya di dalam politik.
d.      Demokrasi Terpimpin (Tap MPRS No. VIII/MPRS/1965), tentang mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah mufakat. Jika mufakat bulat tidak dapat tercapai, maka keputusan diserahkan kepada presiden.
e.       Pilar demokrasi, kehidupan partai, legislative menjadi lemah, sebaliknya presiden sebagai kepala eksekutif menjadi sangat kuat. Sebagai contoh, DPR yang dibentuk melalui Pemilu 1955 dibubarkan oleh Presiden pada tahun 1960. Sebagai pengganti, DPR-GR yang dibentuk lebih banyak sekedar memberikan legitimasi atas keinginan Presiden.
3.      Periode Orde Baru (1966-1998)
Tragedi nasional 1 Oktober 1965 melahirkan krisis politik, terjadi tarik menarik kekuasaan antara Soekarno, PKI, Angkatan Darat yang dimenangkan Angkatan Darat.
Soeharto mendapat mandate dari Soekarno untuk memulihkan keamanan melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang isinya pelimpahan kekuasaan kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan unutk menjamin keamanan dan stabilitas pemerintahan serta keselamatan pribadi presiden.Supersemar memberi jalan Angkatan Darat sebagai pemeran utama dalam politik Indonesia. Kendali kekuasaan berada di tangan Soeharto dan jajaran pemimpin TNI AD sejak 12 Maret 1966 bersamaan dengan pembubaran PKI (Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966). Selanjutnya pemerintahan Soeharto yang tampil menggantikan Soekarno sejak 12 Maret 1967 menamakan diri pemerintahan orde baru.
Istilah Orde Baru, sebagai tatanan seluruh perkehidupan rakyat, bangsa dan Negara yang meletakkan kembali kemurnian Pancasila (landasan ideal),  UUD 1945 (landasan konstitusional), TAP MPRS/MPR (landasan Operasional).
Dinamika Politik pada periode Orde Baru, dapat dilihat berdasarkan aktivitas politik kenegaraan sebagai berikut:
1.      Terjadinya krisis politik, yaitu banyaknya demonstrasi mahasiswa, pelajar dan ormas-ormas onderbow parpol yang hidup dalam tekanan selama era demokrasi terpimpin, sehingga melahirkan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) yaitu:
a.       Bubarkan PKI,
b.      Bersihkan Kabinet Dwi Kora dari PKI,
c.       Turunkan harga/perbaikan ekonomi.
2.      Pemerintahan Orde Baru lebih memprioritaskan pembanguan ekonomi dengan menciptakan stabilitas politik dan keamanan. Upaya untuk membangun stabilitas tersebut dilakukan dengan mengekang hak-hak politik rakyat atau demokrasi.
3.      Pada awal pemerintahan Orde Baru, Parpol dan Media massa diberi kebebasan unutk melancarkan kritik dan pengungkapan realita di dalam masyarakat. Namun sejak dibentuknya format politik baru yang dituangkan dalam UU No.15 dan 16 Tahun 1969 (tentang pemilu dan Susduk MPR/DPR/DPRD) menggiring masyarakat Indonesia kearah otoritarian. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa pengisian 1/3 kursi anggota MPR dan 1/5 anggota DPR dilakukan melalui pengangkatan secara langsung tanpa melalui Pemilu.
4.      Kemenangan Golkar pada Pemilu 1971 mengurangi oposisi terhadap pemerintah di kalangan sipil, karena Golkar sangat dominan, sementara partai-partai lain berada di bawah pengawasan/ control pemerintah. Kemenangan ini juga mengantarkan Golkar menjadi partai hegemonik yang kemudian bersama ABRI dan birokrasi menjadikan dirinya sebagai tumpuan utama rezim Orde Baru unutk mendominasi semua proses politik.
5.      Pada 1973 pemerintah melaksanakan penggabungan Sembilan Parpol peserta Pemilu 1971 ke dalam 2 Parpol, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menggabungkan partai-partai Islam dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan partai-partai nasional dan Kristen. Penggabungan (fusi) ini mengakibatkan merosotnya perolehan 2 Parpol pada Pemilu 1977, sementara Golkar mendominasi perolehan suara. Dominasi Golkar ini terus berlanjut hingga kemenangan terbesarnya diperoleh pada tahun 1997.
6.      Selama Orde Baru berkuasa, pilar-pilar demokrasi seperti Parpol dan Lembaga Perwakilan Rakyat berada dalam kondisi lemah dan selalu dibayangi oleh kontrol dan penetrasi birokrasi yang sangat kuat. Anggota DPR selalu dibayang-bayangi oleh mekanisme recall (penggantian anggota DPR karena dianggap telalu kritis atau karena pelanggaran lain), sementara Parpol tidak mempunyai otonomi internal.
7.      Eksekutif sangat kuat sehingga partisipasi politik dari kekuatan-kekuatan di luar birokrasi sangat lemah. Kehidupan pers selalu dibayang-bayangi oleh pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Sementara rakyat tidak diperkenankan menyelenggarakan aktivitas sosial dan politik tanpa izin dari Negara. Praktis tidak muncul kekuatan civil society yang mampu melakukan control dan menjadi kekuatan penyeimbang bagi kekuasaan pemerintah Soeharto yang sangat dominan.
Kepemimpinan Soeharto sangat terpusat, dengan tiga pilar utama, yaitu ABRI, Golkar dan Birokrasi. Membatasi hak-hak politik masyarakat dengan alasan stabilitas keamanan. Pembangunan ekonomi dikedepankan, namun ruang kebebasan dipersempit. Akibatnya, pemerintahan Soeharto berjalan nyaris tanpa kontrol masyarakat sehingga kemajuan ekonomi digerogoti oleh maraknya Korupsi, Kolusi  Nepotisme (KKN).
4.      Periode Reformasi (1998-sekarang)
Era Reformasi sebagai Era Kebangkitan Demokrasi, ditandai pidato kenegaraan Presiden B.j. Habibie di hadapan DPR/MPR (tanggal 15 Agustus 1998) antara lain menyebutkan:
a.       Esensi Reformasi Nasional adalah koreksi terencana, melembaga dan berkesiambungan tehadap seluruh penyimpangan yang telah tejadi dalam bidang ekonomi, politik dan hukum.
b.      Sasarannya adalah agar bangsa Indonesia bangkit kembali dengan suasana yang lebih terbuka, lebih teratur dan lebih demokratis
Keberhasilan pemerintahan Orde Baru dalam pembangunan ekonomi harus diakui sebagai prestasi besar dengan indikasi antara lain tingkat pendapatan per kapita (1977) mencapai angka mendekati US$ 1200 dengan pertumbuhan sebesar 7% disamping meningkatnya sarana dan prasarana fisik infrastuktur yang dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat. Namun keberhasilan ekonomi tidak diimbangi dengan pembangunan mental dan bidang-bidang lain. Akibat langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat menjelang runtuhnya Orde Baru adalah praktik Korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN) yang semakin marak dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini selain mengakibatkan terjadinya krisis kepercayaan, juga telah menghancurkan nilai-nilai kejujuran dan keadilan, etika politik, moral hukum, dasar-dasar demokrasi dan sebdi-sendi agama.
Khusus di bidang politik, krisis kepercayaan tersebut direspon oleh masyarakat melalui kelompok penekan (pressure group) dengan mengadakan berbagai macam unjuk rasa/demostrasi yang dipelopori oleh pelajar, mahasiswa, dosen, praktisi, LSM dan politisi. Gelombang demonstrasi yang menyuarakan reformasi begitu deras mengalir dengan dukungan dari berbagai kalangan yang semakin kuat dan meluas. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri. Wakil Presiden B.J Habibie yang menggantikan kepeimpinan nasional di Indonesia dilantik dihadapan Ketua MA dan Ketua serta Wakil Ketua DPR/MPR.
Dinamika politik pada periede era Reformasi, dapat dilihat berdasarkan aktivitas politik kenegaraan sebagai berikut:
a.       Kebijakan pemerintah yang memberi ruang gerak lebih luas terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan yang terwujud dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Misalnya dikeluarkannya UU No. 2/1999 tentang Partai Politik yang memungkinkan multipartai, UU No. 12/1999 tentang Pegawai Negeri yang menjadi anggota Parpol, dan sebagainya.
b.      Upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN, berwibawa dan bertanggung jawab dibuktikan dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR No.IX/MPR/1998. Ketetapan MPR ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya UU No. 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan sebagainya.
c.       Lembaga legislative dan organisasi sosial politik sudah memiliki keberanian unutk menyatakan pendapatnya terhadap eksekutif yang cenderung lebih seimbang dan proporsional.
d.      Satu hal yang membanggakan kita dalam reformasi politik adalah adanya pembatasan jabatan Presiden, dan untuk pemilu 2004 Presiden dan Wakil Presiden tidak dipilih lagi oleh MPR melainkan dipilih langsung oleg rakyat. Demikian juga untuk anggota legislative, mereka telah diketahui secara terbuka oleh masyarakat luas. Selain itu dibentuk pula Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk mengakomodasi aspirasi daerah.


FAKTA DAN OPINI MASYARAKAT
1.      Dinamika Politik Lokal
Pada era reformasi, desentralisasi merupakan gejala yang wajar dari sebuah negara yang menerapkan sistem demokrasi. Proses semacam itu merupakan kecenderungan yang tak terhindarkan dari demokrasi politik yang menghendaki adanya perluasan partisipasi dan pemberian otonomi bagi masyarakat lokal. Dalam konteks Indonesia desentralisasi tidak hanya menjadi kata kunci dalam perumusan kebijakan publik , tetapi juga menjadi fatwa dalam dunia politik  yang memerlukan pembukaan ruang lebih luas bagi tumbuhnya prakarsa masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.                     
Sistem ini tidak saja dipandang lebih favorable bagi kepentingan masyarakat, tetapi juga lebih menjamin tegaknya demokrasi yang memberikan ruang partisipasi bagi warga  lokal, termasuk dalam pemilihan umum kepala daerah, merupakan praktik politik yang relatif baru di Indonesia. Di sisi lain, berbagai lembaga pembangunan internasional secara aktif turut serta memberi dukungan terhadap kebijakan ini. Sejak reformasi bergulir pada 1998, sejumlah dana dari berbagai lembaga pembangunan internasional secara khusus dialokasikan dalam rangka mempercepat proses desentralisasi
2.      Dinamika Politik Hukum
Telah terjadi banyak perubahan yang fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, karena adanya amandemen konstitusi (UUD 1945). Perubahan tersebut membawa pengaruh yang besar pula dalam politik hukum pemerintahan daerah. Politik hukum diartikan sebagai legal policy  atau arah hukum yang akan diberlakukan oleh Negara untuk mencapai tujuan Negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan pergantian hukum lama. Kebijakan otonomi daerah muncul tidak hanya atas kehendak dari pemerintah pusat, tetapi juga terbentuk dan terlaksana atas kehendak masyarakat daerah itu sendiri. Dalam satu negara kesatuan, negara adalah tunggal dan tidak dibagi kedaulatannya. Oleh karena itu, luas dan besarnya kekuasaan daerah otonom dalam negara kesatuan yang terdesentralisasi, tidak akan pernah memiliki kekuasaan dalam membentuk konstitusi sendiri yang akan berbeda dengan konstitusi negara induknya (yang membedakan sistem Negara kesatuan dan Negara federal).
3.      Opini Masyarakat
Hampir 16 tahun reformasi berjalan tentunya ada kemajuan dan pasti ada kekurangan yang perlu diperbaiki.  Apabila kita perhatikan lebih seksama, langkah awal dalam mereformasi pemerintahan Orde Baru bida jadi menjadi boomerang, artinya kita berhasil keluar dari sistem Demokrasi Pancasila Orde Baru yang dikendalikan dengan kekuatan dan kekuasaan militer sungguh merupakan prestasi yang patut dibanggakan.  Tetapi Demokrasi Pencasila yang telah ditinggalkan digantikan dengan Demokrasi yang dinilai telah menggeser nilai kepatutan yang melanggar batas dan bertentangan dengan budaya bangsa kita, sehingga demontrasi yang anarkis seperti tak ada yang ditakuti lagi, pihak keamanan seperti dianggap angin lalu, rakyat menjerit dan keryawan terkena sistem kontrak yang disahkan dan berbagai kesiltan yang dihadapi masyarakat.
Sebagai ilustrasi, penulis mengutip :
Hasil survey LSI Pemerintahan SBY.
Tingkat kepuasan terhadap pemerintahan SBY, menunjukkan bahwa ekseptasi (penerimaan) publik terhadap gaya kepemimpinan Presiden SBY mulai menurun.  Program di stasiun TV swasta pernah menampilkan 10 hal yang tidak disenangi rakyat Indonesia di era reformasi (hasil survei Litbang Media Group) yang dilakukan kepada masyarakat pengguna telepon residensial di Jakarta, Medan, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Makasar yang dipilih secara acak melalui buku telepon. Sepuluh fakta yang tidak disenangi oleh masyarakat pasca reformasi tersebut adalah: harga sembako mahal, tingkat korupsi masih tinggi, meningkatnya angka kriminalitas, ekonomi tidak stabil, kerusuhan meningkat, banyaknya demonstrasi, BBM langka dan mahal, sistem politik semrawut, kebebasan yang tidak bertanggungjawab, serta jumlah pengangguran yang bertambah. Terlepas dari survei tersebut, kenyataan yang ada memang juga demikian adanya, misalnya harga BBM sempat terombang-ambing, korupsi juga masih merajalela, nuansa perpolitikan semakin mencekam, banyak terjadi bentrokan yang tak berarti yang terjadi selama Pilkada ataupun Pemilu, disamping bentrokan antar kelompok dan golongan.                    
Namun hasil survei lainnya yang  justru tidak diduga adalah adanya keinginan dari sebagian masyarakat Indonesia yang rindu dengan gaya kepemimpinan Soeharto, sebuah kerinduan akan sifat diktator beliau yang mampu memerintah dengan tangan besi, sehingga tak ada satu elemen bangsa pun pada waktu itu yang berani bersikap kritis.
Dampak dari demokrasi yang dikungkung tersebut, ternyata dinilai ada positifnya, yaitu negara lebih aman dan damai, tak satupun aksi unjuk rasa yang pernah kita saksikan baik secara langsung maupun melalui layar kaca, semua seolah tampak baik-baik saja, walaupun kenyataan di dalamnya seperti menyimpan bara dalam sekam yang akhirnya meledak pada tragedi 1998.
Tetapi sejatinya bukan gaya diktator Soeharto itu yang dirindukan oleh  masyarakat saat ini, tentu kebebasan demokrasi hasil reformasi tak sedikit juga dampak positifnya, namun kedamaian, iklim berusaha yang kondusif, stabilitas harga bahan pokok, sehingga masyarakat mencari figur pemimpin yang bisa menciptakan kondisi tersebut, maka tidak aneh kalau gaya kepemimpinan mantan presiden Soeharto menjadi pilihan, setelah reformasi yang telah berjalan 16 tahun ini belum menemukan pemimpin sekaliber Soeharto.
Hasil Survey LSI Pemerintahan Jokowi-JK :
Hanya 42,29 % publik menyatakan puas 53, 71% tidak puas dengan kinerja Jokowi pada semua segmen masyarakat. Kinerja pemerintahan Jokowi mendapat tiga rapor merah (ekonomi, politik, hukum) Salah satu penyebab utama bidang hukum (kisruh KPK dan Polri). Dibidang ekonomi (kenaikan BBM), sedang di bidang politik (perseteruan politik antara KMP dan KIH. Sedangkan rapor biru (dibidang sosial dan keamanan). Data LSI dari 33 Provinsi di Indonesia, menggunakan quickpoll (smartphone LSI), dengan metode Multistage Random Sampling. Total jumlah responden yang dilibatkan sebanyak 1200 orang dengan margin of error kurang lebih 2,9 persen.
Terima Kasih………Semoga bermanfaat

Bahan Bacaan
Alwi, Adit, dkk, (1986), Pembangunan Politik,  Beberapa Aspek Perubahaan Sosial dan Ekonomi, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1986, cet. 1.
Irma, Dinamika Politik Indonesia dalam http://iashubby.blogspot.com/2009/08/dinamika-politikindonesia.htlm. (diakses 18-1-15).
Suryosumarto, Budisantoso,(2001), Ketahanan Nasional Indonesia, Penangkal Disintegrasi Bangsa dan Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001,
www.harian terbit. Com
politik.kompasiana.com

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Selamat siang

    Apakah Anda perlu pinjaman mendesak untuk memecahkan kebutuhan keuangan Anda, Kami Tawarkan Pinjaman mulai dari (($ 5,000.00 ke $ 20.000.000,00)) Max, kita dapat diandalkan, efisien, cepat dan dinamis, dengan 100% Dijamin Kami juga menyediakan pinjaman dalam (Euro, Pounds dan Dolar.) tingkat bunga yang berlaku untuk semua pinjaman berada pada tingkat rendah jika Anda bisa tertarik kembali ke kita melalui (iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com)

                                    
    DATA APLIKASI
    1) Nama lengkap:
    2) Negara:
    3) Alamat:
    4) Negara:
    5) Seks:
    6) Status perkawinan:
    7) Bekerja:
    8) Nomor Telepon:
    9) Pendapatan Bulanan:
    10) Jumlah pinjaman:
    11) Pinjaman Durasi:
    12) Tujuan pinjaman:
    13) Agama:
    14) Umur:

    Kesopanan

    Mrs Iskanda Lestari, Chief Executive Officer,
    email: (iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com)

    Tertanda
    Pengelolaan.

    BalasHapus