DINAMIKA POLITIK INDONESIA *)
Munawar Noor **)
PENDAHULUAN
Diawali runtuhnya rezim Orde Baru (1998), kata reformasi
menjadi primadona yang setiap hari muncul sebagai wacana publik, sehingga mulai
dari diskusi di ruang seminar sampai obrolan di kaki lima, di warung kopi, kata
reformasi selalu tampil sebagai topik utama pembicaraan. Reformasi tidak saja
menjadi kata yang sangat bermakna (fatwa) pada satu sisi, namun juga menjadi
jargon yang sangat laris di sisi lain. Tema reformasi politik menghiasi
warna-warni partisipasi masyarakat, tetapi juga ekspresi penataan-penataan
politik dan kelembagaan di tingkat negara. Tentunya harapan besar orde
reformasi tidak mengalami kemerosotan makna karena terlalu sering diucapkan
bahkan menjadi jargon menjadi penting, sebab pada realitasnya reformasi politik
di Indonesia masih jauh dari tujuannya. Oleh karena itu, masih sangat
dibutuhkan keseriusan dan komitmen tinggi untuk menuntaskan perubahan-perubahan
politik untuk mencapai kehidupan bernegara yang lebih baik. Keseriusan dan
komitmen tinggi ini akan jadi seperti kehilangan nafas apabila reformasi keburu
menjadi basi, klise dan jargonis. Kenyataan yang ada terutama pada tingkat
lokal seringkali menunjukkan bahwa proses reformasi politik di Indonesia
memiliki banyak rupa dan warna. Apabila di tingkat nasional reformasi dirasakan
terlalu banyak berkait dengan persoalan rotasi kekuasaan dan banyak reformulasi
regulasi negara, maka reformasi di tingkat lokal terasa seperti pembalikan
secara mendasar sebagian besar pola-pola relasi kekuasaan intra negara, negara
dan masyarakat, serta intra masyarakat. Repotnya, negara di tingkat lokal
seolah bukan saja kalah cepat, tapi juga sering terlihat kalah lihai
dibandingkan masyarakat. Dalam banyak hal, kasus reformasi menunjukkan
tipikalitas taktik kaum lemah dalam menghadapi kekuasaan otoriter, yakni
pemanfaatan ruang pemaknaan di pinggiran pentas-pentas politik, ketika negara
di tingkat lokal masih sibuk dalam pembenahan diri yang seolah tak pernah akan
usai. Pada tingkat akar rumput, reformasi umumnya dimaknai sebagai pembebasan
dari segala simbolisasi kekuasaan negara.
Maka tidak mengherankan apablia ekspresi-ekspresi awal
euforia reformasi di tingkat lokal banyak mengambil bentuk perlawanan terhadap
kekuasaan, pembangkangan terhadap aturan lalu lintas, pendudukan tambak dan
kebun oleh masyarakat dan semacamnya. Hal ini tidak ingin mengatakan bahwa
reformasi politik hanya menarik dilihat dari aspek perlawanan masyarakat
terhadap simbol-simbol negara semata-mata, tetapi penting untuk dipahami bahwa
arus-arus reformasi politik di tingkat lokal berjalan jauh lebih menarik
ketimbang apa yang terjadi di tingkat nasional.
*) Disampaikan pada acara : BIMTEK
DPRD Kabupaten Demak, Kantor Kesbangpol Dan Linmas, Kabupaten Demak, 24-25
Fabruari 2015
**). Dr. H. Munawar Noor, MS, Dosen Fisip Untag Semarang
DINAMIKA POLITIK INDONESIA
Sejak merdeka, gagasan demokrasi
dalam kehidupan politik mendapat tempat yang sangat menonjol dan para pemimpin bangsa saat itu bersepakat
untuk memilih demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang kemudian
di tuangkan kedalam UUD 1945.
Secara
umum dinamika perjalanan politik Indonesia dapat di bagi kedalam 5 priode.:
1.
Periode Demokrasi Liberal
(1945-1959)
Dinamika
politik pada priode demokrasi liberal, dapat dilihat berdasarkan aktifitas
politik kenegaraan berikut:
a.
Untuk
menghindari jabatan rangkap Presiden, dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) tanggal 29/8/45. untuk membantu tugas presiden.
b.
Untuk
menghindari kekuasaan Presiden yang terpusat KNIP mendesak presiden segera
membentuk MPR, sebelum MPR terbentuk ,
anggota KNIP melakukan fungsi dan tugas MPR
c.
KNIP
di serahi kekuasan legislative dan ikut menetapkan GBHN,
d.
Untuk
mendorong kearah kabinet parlementer, dikeluarkan Maklumat Pemerintah : agar
aliran-aliran dalam masyarakat segera membentuk partai politiknya sebelum di
langsungkan Pemilu bulan Juni 1955. Maklumat inilah yang menjadi dasar banyak
partai atau multipartai
e.
Maklumat
Pemerintah 14 November 1945 tentang Susunan Kabinet berdasarkan sisitem
parlementer. Sejak saat itu,tanpa mengubah UUD 1945 sistem pemerintahan
bergeser dari kabinet presidensial ke kabinet parlementer (liberal-demokratis)
f.
Pergeseran
politik kembali mengalami dinamika sejak di berlakukan Konstitusi RIS 1949 yang
menerapkan perlementerisme dengan federalisme. Sistem federalism dalam
mekanisme hubungan antara pusat dan daerah (Negara bagian) meletakkan
pemerintah pemerintah pusat dan pemerintah Negara-Negara bagian dalam susunan
yang sederajat. Sehingga untuk parlemen, terdiri dari 2 badan (bikameral)
yaitu: senat (mewakili negara bagian) dan Dewan Perwakilan Rakyat.
g.
Pada
17 Agustus 1950, RIS resmi bubar dan negara Indonesia kembali kebentuk Negara
kesatuan. Namun sistem politik demokrasi liberal yang diterapkan menunjukkan
pola hubungan antara pemerintah dengan parlemen sebagai bureu-nomia, yaitu
pemerintahan partai – partai.
2.
Periode Demokrasi Terpimpin ( 1959 –
1966 )
Demokrasi Terpimpin adalah paham
demokrasi berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, yang berintikan musyawarah untuk mufakat secaa
gotong-royong antara semua kekuatan nasional yang Progresif Revolusioner
berporoskan Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme).
Dinamika politik pada periode demokrasi terpimpin dapat dilihat berdasarkan aktivitas politik kenegaraan sebagai berikut.
Dinamika politik pada periode demokrasi terpimpin dapat dilihat berdasarkan aktivitas politik kenegaraan sebagai berikut.
a.
Dekrit
presiden 5 juli 1959 telah mengakhiri sistem politik liberal diganti dengan
sistem demokrasi terpimpin dan
berlakunya kembali UUD 1945.
b.
Dekrit
presiden lahir karena kegagalan konstituante dalam melaksanakan tugasnya yaitu
membuat UUD yang baru.
c.
Situasi
politik (demokrasi terpimpin) diwarnai tarik menarik tiga kekuatan politik
utama yaitu Soekarno, Angkatan Darat dan PKI. Soekarno memerlukan PKI untuk
menghadapi Angkatan Darat yang berubah menjadi kekuatan politik yang menyaingi
kekuasaan Soekarno, PKI memerlukan Soekarno untuk mendapatkan perlindungan dari
Presiden dalam melawan Angkatan Darat, sedangkan Angkatan Darat membutuhkan
Soekarno untuk mendapatkan legitimasi keterlibatannya di dalam politik.
d.
Demokrasi
Terpimpin (Tap MPRS No. VIII/MPRS/1965), tentang mekanisme pengambilan
keputusan berdasarkan musyawarah mufakat. Jika mufakat bulat tidak dapat
tercapai, maka keputusan diserahkan kepada presiden.
e.
Pilar
demokrasi, kehidupan partai, legislative menjadi lemah, sebaliknya presiden
sebagai kepala eksekutif menjadi sangat kuat. Sebagai contoh, DPR yang dibentuk
melalui Pemilu 1955 dibubarkan oleh Presiden pada tahun 1960. Sebagai
pengganti, DPR-GR yang dibentuk lebih banyak sekedar memberikan legitimasi atas
keinginan Presiden.
3.
Periode Orde Baru (1966-1998)
Tragedi
nasional 1 Oktober 1965 melahirkan krisis politik, terjadi tarik menarik
kekuasaan antara Soekarno, PKI, Angkatan Darat yang dimenangkan Angkatan Darat.
Soeharto mendapat mandate dari Soekarno untuk memulihkan keamanan melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang isinya pelimpahan kekuasaan kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan unutk menjamin keamanan dan stabilitas pemerintahan serta keselamatan pribadi presiden.Supersemar memberi jalan Angkatan Darat sebagai pemeran utama dalam politik Indonesia. Kendali kekuasaan berada di tangan Soeharto dan jajaran pemimpin TNI AD sejak 12 Maret 1966 bersamaan dengan pembubaran PKI (Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966). Selanjutnya pemerintahan Soeharto yang tampil menggantikan Soekarno sejak 12 Maret 1967 menamakan diri pemerintahan orde baru.
Soeharto mendapat mandate dari Soekarno untuk memulihkan keamanan melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang isinya pelimpahan kekuasaan kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan unutk menjamin keamanan dan stabilitas pemerintahan serta keselamatan pribadi presiden.Supersemar memberi jalan Angkatan Darat sebagai pemeran utama dalam politik Indonesia. Kendali kekuasaan berada di tangan Soeharto dan jajaran pemimpin TNI AD sejak 12 Maret 1966 bersamaan dengan pembubaran PKI (Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966). Selanjutnya pemerintahan Soeharto yang tampil menggantikan Soekarno sejak 12 Maret 1967 menamakan diri pemerintahan orde baru.
Istilah
Orde Baru, sebagai tatanan seluruh perkehidupan rakyat, bangsa dan Negara yang meletakkan
kembali kemurnian Pancasila (landasan ideal), UUD 1945 (landasan konstitusional), TAP
MPRS/MPR (landasan Operasional).
Dinamika
Politik pada periode Orde Baru, dapat dilihat berdasarkan aktivitas politik
kenegaraan sebagai berikut:
1.
Terjadinya
krisis politik, yaitu banyaknya demonstrasi mahasiswa, pelajar dan ormas-ormas
onderbow parpol yang hidup dalam tekanan selama era demokrasi terpimpin,
sehingga melahirkan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) yaitu:
a. Bubarkan PKI,
b. Bersihkan Kabinet Dwi Kora dari PKI,
c. Turunkan harga/perbaikan ekonomi.
2.
Pemerintahan
Orde Baru lebih memprioritaskan pembanguan ekonomi dengan menciptakan
stabilitas politik dan keamanan. Upaya untuk membangun stabilitas tersebut
dilakukan dengan mengekang hak-hak politik rakyat atau demokrasi.
3.
Pada
awal pemerintahan Orde Baru, Parpol dan Media massa diberi kebebasan unutk
melancarkan kritik dan pengungkapan realita di dalam masyarakat. Namun sejak
dibentuknya format politik baru yang dituangkan dalam UU No.15 dan 16 Tahun
1969 (tentang pemilu dan Susduk MPR/DPR/DPRD) menggiring masyarakat Indonesia
kearah otoritarian. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa pengisian 1/3 kursi
anggota MPR dan 1/5 anggota DPR dilakukan melalui pengangkatan secara langsung
tanpa melalui Pemilu.
4.
Kemenangan
Golkar pada Pemilu 1971 mengurangi oposisi terhadap pemerintah di kalangan
sipil, karena Golkar sangat dominan, sementara partai-partai lain berada di
bawah pengawasan/ control pemerintah. Kemenangan ini juga mengantarkan Golkar
menjadi partai hegemonik yang kemudian bersama ABRI dan birokrasi menjadikan
dirinya sebagai tumpuan utama rezim Orde Baru unutk mendominasi semua proses
politik.
5.
Pada
1973 pemerintah melaksanakan penggabungan Sembilan Parpol peserta Pemilu 1971
ke dalam 2 Parpol, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menggabungkan
partai-partai Islam dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan
gabungan partai-partai nasional dan Kristen. Penggabungan (fusi) ini
mengakibatkan merosotnya perolehan 2 Parpol pada Pemilu 1977, sementara Golkar
mendominasi perolehan suara. Dominasi Golkar ini terus berlanjut hingga
kemenangan terbesarnya diperoleh pada tahun 1997.
6.
Selama
Orde Baru berkuasa, pilar-pilar demokrasi seperti Parpol dan Lembaga Perwakilan
Rakyat berada dalam kondisi lemah dan selalu dibayangi oleh kontrol dan
penetrasi birokrasi yang sangat kuat. Anggota DPR selalu dibayang-bayangi oleh
mekanisme recall (penggantian anggota DPR karena dianggap telalu kritis atau
karena pelanggaran lain), sementara Parpol tidak mempunyai otonomi internal.
7.
Eksekutif
sangat kuat sehingga partisipasi politik dari kekuatan-kekuatan di luar
birokrasi sangat lemah. Kehidupan pers selalu dibayang-bayangi oleh pencabutan
Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Sementara rakyat tidak diperkenankan
menyelenggarakan aktivitas sosial dan politik tanpa izin dari Negara. Praktis
tidak muncul kekuatan civil society yang mampu melakukan control dan menjadi
kekuatan penyeimbang bagi kekuasaan pemerintah Soeharto yang sangat dominan.
Kepemimpinan Soeharto sangat terpusat, dengan tiga pilar utama, yaitu ABRI, Golkar dan Birokrasi. Membatasi hak-hak politik masyarakat dengan alasan stabilitas keamanan. Pembangunan ekonomi dikedepankan, namun ruang kebebasan dipersempit. Akibatnya, pemerintahan Soeharto berjalan nyaris tanpa kontrol masyarakat sehingga kemajuan ekonomi digerogoti oleh maraknya Korupsi, Kolusi Nepotisme (KKN).
Kepemimpinan Soeharto sangat terpusat, dengan tiga pilar utama, yaitu ABRI, Golkar dan Birokrasi. Membatasi hak-hak politik masyarakat dengan alasan stabilitas keamanan. Pembangunan ekonomi dikedepankan, namun ruang kebebasan dipersempit. Akibatnya, pemerintahan Soeharto berjalan nyaris tanpa kontrol masyarakat sehingga kemajuan ekonomi digerogoti oleh maraknya Korupsi, Kolusi Nepotisme (KKN).
4.
Periode Reformasi (1998-sekarang)
Era
Reformasi sebagai Era Kebangkitan Demokrasi, ditandai pidato kenegaraan Presiden
B.j. Habibie di hadapan DPR/MPR (tanggal 15 Agustus 1998) antara lain
menyebutkan:
a.
Esensi
Reformasi Nasional adalah koreksi terencana, melembaga dan berkesiambungan
tehadap seluruh penyimpangan yang telah tejadi dalam bidang ekonomi, politik
dan hukum.
b.
Sasarannya
adalah agar bangsa Indonesia bangkit kembali dengan suasana yang lebih terbuka,
lebih teratur dan lebih demokratis
Keberhasilan pemerintahan Orde Baru
dalam pembangunan ekonomi harus diakui sebagai prestasi besar dengan indikasi
antara lain tingkat pendapatan per kapita (1977) mencapai angka mendekati US$
1200 dengan pertumbuhan sebesar 7% disamping meningkatnya sarana dan prasarana
fisik infrastuktur yang dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat. Namun
keberhasilan ekonomi tidak diimbangi dengan pembangunan mental dan bidang-bidang
lain. Akibat langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat menjelang runtuhnya
Orde Baru adalah praktik Korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN) yang semakin marak
dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini selain mengakibatkan terjadinya krisis
kepercayaan, juga telah menghancurkan nilai-nilai kejujuran dan keadilan, etika
politik, moral hukum, dasar-dasar demokrasi dan sebdi-sendi agama.
Khusus di bidang politik, krisis
kepercayaan tersebut direspon oleh masyarakat melalui kelompok penekan
(pressure group) dengan mengadakan berbagai macam unjuk rasa/demostrasi yang
dipelopori oleh pelajar, mahasiswa, dosen, praktisi, LSM dan politisi. Gelombang
demonstrasi yang menyuarakan reformasi begitu deras mengalir dengan dukungan
dari berbagai kalangan yang semakin kuat dan meluas. Akhirnya pada tanggal 21
Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri. Wakil Presiden B.J
Habibie yang menggantikan kepeimpinan nasional di Indonesia dilantik dihadapan
Ketua MA dan Ketua serta Wakil Ketua DPR/MPR.
Dinamika politik pada periede era
Reformasi, dapat dilihat berdasarkan aktivitas politik kenegaraan sebagai
berikut:
a.
Kebijakan
pemerintah yang memberi ruang gerak lebih luas terhadap hak-hak untuk
mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan yang terwujud dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Misalnya dikeluarkannya UU No. 2/1999 tentang Partai
Politik yang memungkinkan multipartai, UU No. 12/1999 tentang Pegawai Negeri
yang menjadi anggota Parpol, dan sebagainya.
b.
Upaya
mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN, berwibawa dan bertanggung jawab
dibuktikan dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR No.IX/MPR/1998. Ketetapan MPR
ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya UU No. 30 Tahun 2002 tentang
Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan sebagainya.
c.
Lembaga
legislative dan organisasi sosial politik sudah memiliki keberanian unutk
menyatakan pendapatnya terhadap eksekutif yang cenderung lebih seimbang dan
proporsional.
d.
Satu
hal yang membanggakan kita dalam reformasi politik adalah adanya pembatasan
jabatan Presiden, dan untuk pemilu 2004 Presiden dan Wakil Presiden tidak
dipilih lagi oleh MPR melainkan dipilih langsung oleg rakyat. Demikian juga
untuk anggota legislative, mereka telah diketahui secara terbuka oleh
masyarakat luas. Selain itu dibentuk pula Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk
mengakomodasi aspirasi daerah.
FAKTA DAN OPINI MASYARAKAT
1.
Dinamika Politik Lokal
Pada era reformasi, desentralisasi merupakan
gejala yang wajar dari sebuah negara yang menerapkan sistem demokrasi. Proses
semacam itu merupakan kecenderungan yang tak terhindarkan dari demokrasi
politik yang menghendaki adanya perluasan partisipasi dan pemberian otonomi
bagi masyarakat lokal. Dalam konteks Indonesia desentralisasi tidak hanya
menjadi kata kunci dalam perumusan kebijakan publik , tetapi juga menjadi fatwa
dalam dunia politik yang memerlukan
pembukaan ruang lebih luas bagi tumbuhnya prakarsa masyarakat lokal untuk
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.
Sistem ini tidak saja dipandang
lebih favorable bagi kepentingan masyarakat, tetapi juga lebih menjamin
tegaknya demokrasi yang memberikan ruang partisipasi bagi warga lokal,
termasuk dalam pemilihan umum kepala daerah, merupakan praktik politik yang
relatif baru di Indonesia. Di sisi lain, berbagai lembaga pembangunan
internasional secara aktif turut serta memberi dukungan terhadap kebijakan ini.
Sejak reformasi bergulir pada 1998, sejumlah dana dari berbagai lembaga
pembangunan internasional secara khusus dialokasikan dalam rangka mempercepat
proses desentralisasi
2.
Dinamika Politik Hukum
Telah terjadi banyak perubahan yang
fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, karena adanya amandemen
konstitusi (UUD 1945). Perubahan tersebut membawa pengaruh yang besar pula
dalam politik hukum pemerintahan daerah. Politik hukum diartikan sebagai legal
policy atau arah hukum yang akan
diberlakukan oleh Negara untuk mencapai tujuan Negara yang bentuknya dapat
berupa pembuatan hukum baru dan pergantian hukum lama. Kebijakan otonomi daerah
muncul tidak hanya atas kehendak dari pemerintah pusat, tetapi juga terbentuk
dan terlaksana atas kehendak masyarakat daerah itu sendiri. Dalam satu negara
kesatuan, negara adalah tunggal dan tidak dibagi kedaulatannya. Oleh karena
itu, luas dan besarnya kekuasaan daerah otonom dalam negara kesatuan yang
terdesentralisasi, tidak akan pernah memiliki kekuasaan dalam membentuk
konstitusi sendiri yang akan berbeda dengan konstitusi negara induknya (yang
membedakan sistem Negara kesatuan dan Negara federal).
3.
Opini
Masyarakat
Hampir 16 tahun reformasi berjalan
tentunya ada kemajuan dan pasti ada kekurangan yang perlu diperbaiki. Apabila kita perhatikan lebih seksama, langkah
awal dalam mereformasi pemerintahan Orde Baru bida jadi menjadi boomerang,
artinya kita berhasil keluar dari sistem Demokrasi Pancasila Orde Baru yang
dikendalikan dengan kekuatan dan kekuasaan militer sungguh merupakan prestasi
yang patut dibanggakan. Tetapi Demokrasi
Pencasila yang telah ditinggalkan digantikan dengan Demokrasi yang dinilai
telah menggeser nilai kepatutan yang melanggar batas dan bertentangan dengan
budaya bangsa kita, sehingga demontrasi yang anarkis seperti tak ada yang
ditakuti lagi, pihak keamanan seperti dianggap angin lalu, rakyat menjerit dan
keryawan terkena sistem kontrak yang disahkan dan berbagai kesiltan yang
dihadapi masyarakat.
Sebagai ilustrasi, penulis mengutip :
Hasil survey LSI Pemerintahan SBY.
Tingkat kepuasan terhadap
pemerintahan SBY, menunjukkan bahwa ekseptasi (penerimaan) publik terhadap gaya
kepemimpinan Presiden SBY mulai menurun. Program di stasiun TV swasta pernah
menampilkan 10 hal yang tidak disenangi rakyat Indonesia di era reformasi
(hasil survei Litbang Media Group) yang dilakukan kepada masyarakat pengguna
telepon residensial di Jakarta, Medan, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan
Makasar yang dipilih secara acak melalui buku telepon. Sepuluh fakta yang
tidak disenangi oleh masyarakat pasca reformasi tersebut adalah: harga
sembako mahal, tingkat korupsi masih tinggi, meningkatnya angka kriminalitas,
ekonomi tidak stabil, kerusuhan meningkat, banyaknya demonstrasi, BBM
langka dan mahal, sistem politik semrawut, kebebasan yang tidak
bertanggungjawab, serta jumlah pengangguran yang bertambah. Terlepas dari
survei tersebut, kenyataan yang ada memang juga demikian adanya, misalnya harga
BBM sempat terombang-ambing, korupsi juga masih merajalela, nuansa perpolitikan
semakin mencekam, banyak terjadi bentrokan yang tak berarti yang terjadi selama
Pilkada ataupun Pemilu, disamping bentrokan antar kelompok dan golongan.
Namun hasil survei lainnya yang
justru tidak diduga adalah adanya keinginan dari sebagian masyarakat
Indonesia yang rindu dengan gaya kepemimpinan Soeharto, sebuah kerinduan akan
sifat diktator beliau yang mampu memerintah dengan tangan besi, sehingga tak
ada satu elemen bangsa pun pada waktu itu yang berani bersikap kritis.
Dampak dari demokrasi yang
dikungkung tersebut, ternyata dinilai ada positifnya, yaitu negara lebih aman
dan damai, tak satupun aksi unjuk rasa yang pernah kita saksikan baik secara
langsung maupun melalui layar kaca, semua seolah tampak baik-baik saja,
walaupun kenyataan di dalamnya seperti menyimpan bara dalam sekam yang akhirnya
meledak pada tragedi 1998.
Tetapi sejatinya
bukan gaya diktator Soeharto itu yang dirindukan oleh masyarakat saat ini, tentu kebebasan demokrasi
hasil reformasi tak sedikit juga dampak positifnya, namun kedamaian, iklim
berusaha yang kondusif, stabilitas harga bahan pokok, sehingga masyarakat
mencari figur pemimpin yang bisa menciptakan kondisi tersebut, maka tidak aneh kalau
gaya kepemimpinan mantan presiden Soeharto menjadi pilihan, setelah reformasi yang
telah berjalan 16 tahun ini belum menemukan pemimpin sekaliber Soeharto.
Hasil Survey LSI Pemerintahan
Jokowi-JK :
Hanya 42,29 % publik menyatakan puas
53, 71% tidak puas dengan kinerja Jokowi pada semua segmen masyarakat. Kinerja
pemerintahan Jokowi mendapat tiga rapor merah (ekonomi, politik, hukum) Salah
satu penyebab utama bidang hukum (kisruh KPK dan Polri). Dibidang ekonomi
(kenaikan BBM), sedang di bidang politik (perseteruan politik antara KMP dan
KIH. Sedangkan rapor biru (dibidang sosial dan keamanan). Data LSI dari 33
Provinsi di Indonesia, menggunakan quickpoll (smartphone LSI), dengan metode
Multistage Random Sampling. Total jumlah responden yang dilibatkan sebanyak
1200 orang dengan margin of error kurang lebih 2,9 persen.
Terima Kasih………Semoga bermanfaat
Bahan Bacaan
Alwi,
Adit, dkk, (1986), Pembangunan Politik, Beberapa Aspek Perubahaan Sosial dan Ekonomi,
Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1986, cet. 1.
http://www.masisironline.com/2010/10/14/sebuah-catatan-era-reformasi-di-indonesia/ (diakses18-1-15).
Irma,
Dinamika Politik Indonesia dalam http://iashubby.blogspot.com/2009/08/dinamika-politikindonesia.htlm.
(diakses 18-1-15).
Suryosumarto,
Budisantoso,(2001), Ketahanan
Nasional Indonesia, Penangkal Disintegrasi Bangsa dan Negara,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001,
www.harian
terbit. Com
politik.kompasiana.com
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSelamat siang
BalasHapusApakah Anda perlu pinjaman mendesak untuk memecahkan kebutuhan keuangan Anda, Kami Tawarkan Pinjaman mulai dari (($ 5,000.00 ke $ 20.000.000,00)) Max, kita dapat diandalkan, efisien, cepat dan dinamis, dengan 100% Dijamin Kami juga menyediakan pinjaman dalam (Euro, Pounds dan Dolar.) tingkat bunga yang berlaku untuk semua pinjaman berada pada tingkat rendah jika Anda bisa tertarik kembali ke kita melalui (iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com)
DATA APLIKASI
1) Nama lengkap:
2) Negara:
3) Alamat:
4) Negara:
5) Seks:
6) Status perkawinan:
7) Bekerja:
8) Nomor Telepon:
9) Pendapatan Bulanan:
10) Jumlah pinjaman:
11) Pinjaman Durasi:
12) Tujuan pinjaman:
13) Agama:
14) Umur:
Kesopanan
Mrs Iskanda Lestari, Chief Executive Officer,
email: (iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com)
Tertanda
Pengelolaan.